Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hipmi Minta Pemerintah Proposional saat Turunkan Ambang Batas Pajak UMKM

Perhitungan cermat dapat melindungi UMKM yang masih dalam tahap pemulihan pascapandemi.
Pekerja memasak sari kedelai di sentra produksi tahu rumahan di Jakarta, Rabu (5/3/2025). Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja memasak sari kedelai di sentra produksi tahu rumahan di Jakarta, Rabu (5/3/2025). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan bahwa rencana penurunan ambang batas omzet kena pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) harus dilakukan dengan cermat dan proporsional agar tidak menimbulkan efek samping bagi sektor yang masih dalam tahap pemulihan pascapandemi.

Saat ini, pemerintah tengah mengkaji rencana penurunan ambang batas omzet Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari Rp4,8 miliar menjad i Rp3,6 miliar per tahun. 

Langkah ini dimaksudkan untuk memperluas basis pajak dan menutup celah penghindaran. Namun, Hipmi mengingatkan bahwa kebijakan ini harus dilakukan dengan cermat dan proporsional agar tidak menimbulkan efek samping bagi sektor UMKM yang masih dalam tahap pemulihan pascapandemi.

Sekjen Hipmi Anggawira membenarkan bahwa ada oknum pelaku UMKM yang menyiasati struktur usaha agar tetap di bawah threshold Rp4,8 miliar, demi menghindari tarif PPh Badan sebesar 22%. Namun, lanjutnya, dengan menyamaratakan hal ini sebagai pola umum UMKM adalah keliru dan tidak adil.

Dia menjelaskan sebagian besar UMKM yang bertahan di bawah batas omzet lebih didorong oleh faktor keterbatasan modal, akses pasar, kapasitas manajerial, serta ketakutan administratif, bukan semata-mata karena motif menghindar pajak.

"Alih-alih langsung menurunkan threshold, pemerintah seharusnya memperkuat literasi pajak, membina pelaku usaha kecil secara terstruktur, dan mendorong mereka untuk naik kelas melalui kemudahan, bukan tekanan," ujarnya, kepada Bisnis dikutip, Rabu (25/6/2025).

Terlebih, lanjutnya, jika melihat data yang ada dari 61,5 juta UMKM yang tercatat per 2024, pelaku dengan omzet Rp3,6 miliar–Rp4,8 miliar hanya sekitar 5%–10%, atau maksimal 6 juta unit usaha. Artinya, potensi tambahan penerimaan dari revisi batas omzet ini tergolong rendah dan tidak sebanding dengan risiko menambah beban psikologis dan kepatuhan bagi pelaku usaha kecil.

Menurutnya, skema PPh Final 0,5% masih relevan bagi UMKM sebagai sarana transisi karena memberikan kepastian dan kesederhanaan dalam pelaporan dan pembayaran pajak.

Selain itu juga cocok untuk pelaku usaha mikro yang belum memiliki sistem akuntansi memadai, hingga membantu meningkatkan kepatuhan sukarela.

"Jika skema ini dihentikan tanpa sistem transisi dan edukasi yang kuat, akan muncul efek ketakutan kolektif dan potensi gelapnya ekonomi informal," imbuhnya.

Pihaknya juga menyarankan agar insentif dalam PP No.55/2022 Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan diperpanjang secara selektif. Misalnya, hanya berlaku untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp1 miliar atau untuk sektor strategis seperti agribisnis, manufaktur kecil, dan ekonomi digital.

“Tanpa insentif yang ramah, justru usaha kecil akan kembali memilih jalur informal, dan target perluasan pajak pun meleset,” jelasnya.

Untuk menghindari efek negatif dari kebijakan yang tergesa-gesa, HIPMI mengusulkan sejumlah solusi.

Pertama terkait dengan skema tarif bertingkat dimulai dari 0,5% untuk omzet lebih kecil dari Rp2 miliar; kemudian 1% untuk omzet Rp2–4,8 miliar, dan tarif reguler baru berlaku untuk omzet lebih besar dariRp5 miliar.

Dilanjutkan dengan insentif digitalisasi perpajakan, potongan tarif bagi UMKM yang menggunakan aplikasi pembukuan online.

Selain itu dukungan legalitas juga diperlukan penghapusan biaya perubahan status usaha menjadi badan hukum.

Terakhir berkaitan dengan program Nasional Edukasi Pajak UMKM yang terintegrasi dengan KUR, pelatihan koperasi, dan pelatihan usaha lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper