Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Wanti-wanti Defisit Anggaran Melebar Akibat Penerimaan Pajak Seret

Hingga Maret 2025, defisit APBN sudah mencapai Rp104,2 triliun atau 0,43% dari PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). /  Bisnis-Himawan L Nugraha
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). / Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Andry Asmoro mewanti-wanti defisit APBN 2025 berpotensi melebar akibat anjloknya penerimaan pajak hingga Kuartal I/2025.

Asmo menyebut, otoritas fiskal akan tetap bisa mengendalikan defisit APBN 2025 di bawah ambang batas 3% dari produk domestik bruto (PDB). Hanya saja, menurutnya, defisit akan melebihi target yang telah ditetapkan di awal yaitu 2,5% dari PDB.

Dia mencontohkan hingga Maret 2025, defisit APBN sudah mencapai Rp104,2 triliun atau 0,43% dari PDB. Angka tersebut lebih besar dari defisit bulan sebelumnya sebesar Rp31,2 triliun, atau -0,13% dari PDB.

"Faktor utama yang melatarbelakangi melebarnya defisit pada Maret 2025 adalah kinerja perpajakan yang tidak mencapai target," ujar Asmo dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (1/5/2025).

Memang, pendapatan negara 'hanya' sebesar Rp516,1 triliun hingga Maret 2025. Angka tersebut turun 16,8% secara tahunan (year on year/YoY) atau periode yang sama tahun lalu.

Faktor-faktornya, jelas Asmo, yaitu adanya restitusi pajak, melemahnya daya beli konsumen, dan penurunan lifting minyak.

Terkait pelemahan daya beli masyarakat, indikasinya terlihat konsumsi LPG bersubsidi yang yang melambat. Asmo menunjukkan konsumsi LPG 3 kg tumbuh 2,9% YoY pada Maret 2025, yang mana lebih rendah dari pertumbuhan 3,3% YoY pada periode yang sama tahun lalu.

Masalahnya, apabila konsumsi masyarakat menurun maka penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) akan turun jeblok. Belum lagi meningkatnya ketidakpastian global akibat penerapan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump yang sebabkan penurunan harga komoditas unggulan Indonesia.

Akibatnya, nilai ekspor dan bea keluar turun. Otomatis, pendapatan negara juga menyusut.

Dari sisi pengeluaran, Asmo melihat belanja pemerintah akan meningkat pada paruh kedua tahun ini setelah realokasi anggaran selesai dan proyek-proyek prioritas siap dilaksanakan.

Apalagi, lanjutnya, pemerintah telah melakukan pembiayaan front-loaded melalui penerbitan obligasi senilai Rp282,6 triliun hingga Maret 2025. Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat penerbitan obligasi pemerintah pada periode yang sama tahun lalu yaitu Rp104 triliun.

Asmo pun menyoroti tiga faktor yang perlu menjadi perhatian pemerintah ke depan. Pertama, proteksionisme perdagangan AS di bawah kepemimpinan Trump dapat melemahkan ekspor dan penerimaan pajak.

Kedua, perlambatan pertumbuhan ekonomi China dapat memengaruhi sektor ekspor dan manufaktur Indonesia. Ketiga, ketidakpastian kebijakan suku bunga bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed

"Yang dapat mengakibatkan suku bunga global terus tinggi dan meningkatkan beban pembiayaan pemerintah," tutup Asmo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper