Bisnis.com, JAKARTA — Dukungan negara-negara G7 terhadap usulan pengecualian korporasi asal AS seperti Google, Microsoft, Meta, dan lainnya dari aturan pajak minimum global 15% berpotensi menimbulkan risiko terhadap keadilan sistem pajak internasional.
Adapun, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah menerapkan pajak minimum global tersebut.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai Indonesia tidak terpengaruh secara langsung dalam waktu dekat, meski ada dinamika baru tersebut. Artinya, aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global tetap akan berlaku.
“Implementasi pajak minimum global di Indonesia masih berjalan seperti biasa. Proses ini panjang dan butuh waktu tahunan, seperti saat kesepakatan global pertama kali dibahas,” kata Fajry kepada Bisnis, Senin (30/6/2025).
Baca Juga : Kanada Batalkan Pajak Digital untuk Google Cs, Modal Bujuk Amerika Kembali Berunding Tarif Impor |
---|
Menurutnya, selama belum ada keputusan resmi dari Inclusive Framework OECD/G20 yang mengakomodasi sistem baru AS, seluruh ketentuan global termasuk untuk korporasi asal AS tetap berlaku sebagaimana mestinya.
Fajry menjelaskan bahwa bahwa meskipun AS mendorong sistem baru bernama “side-by-side system”, hingga kini belum ada detail teknis yang disepakati secara global.
Baca Juga
Hanya saja, sambungnya, dalam pernyataan resmi Departemen Keuangan AS ditegaskan bahwa usulan pengecualian korporasi asal Negeri Paman Sam tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan fungsi utama pajak minimum global, yakni untuk mencegah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
“US Treasury menyatakan ada pemahaman bersama bahwa side-by-side system tidak akan menghilangkan fungsi pajak minimum global dalam mengatasi BEPS,” ujar Fajry.
Meski dalam proposal AS korporasi induk asal AS akan dikecualikan dari ketentuan IIR (Income Inclusion Rule) dan UTPR (Undertaxed Profits Rule)—dua instrumen utama dalam skema pajak minimum global, pemerintah AS berkomitmen mengantisipasi potensi distorsi dalam persaingan pajak lintas negara.
Fajry menambahkan bahwa pendekatan side-by-side system yang diusulkan AS itu memiliki kemiripan dengan model sebelumnya dalam kerja sama pajak internasional seperti FATCA (Foreign Account Tax Compliance Act) milik AS dan CRS (Common Reporting Standard) dari OECD.
“Saya berharap side-by-side system ini akan berakhir seperti FATCA dan CRS, meski AS punya sistem sendiri, keduanya tetap punya peran penting dalam transparansi perpajakan global,” jelasnya.
Dia juga menyoroti bahwa sebelum adanya pajak minimum global, AS sudah lebih dulu mengembangkan sistem GILTI (Global Intangible Low Taxed Income) yang menjadi inspirasi awal dari kesepakatan pajak minimum global saat ini.