Bisnis.com, JAKARTA - Kontraksi industri manufaktur diproyeksi masih akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang.
Ancaman kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah memberikan tekanan terhadap sektor manufaktur di Asia dan Eropa. Purchasing Managers'Index (PMI) manufaktur sejumlah negara mengalami kontraksi cukup dalam, termasuk Indonesia.
S&P Global melaporkan PMI manufaktur Indonesia pada April 2025 anjlok ke level 46,7. Angka ini turun tajam dibandingkan Maret 2025 yang berada di level 52,4.
Data tersebut menunjukkan penurunan kesehatan sektor manufaktur Indonesia yang terburuk sejak Agustus 2021 saat masa pandemi Covid-19. Adapun, skor PMI di bawah 50 berarti menunjukkan aktivitas manufaktur berada di zona kontraksi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani melihat kontraksi PMI manufaktur RI pada April 2025 terjadi imbas respons pasar usai pengumuman kebijakan tarif Trump. Kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal yang dikenakan AS terhadap mitra-mitra dagangnya itu menyebabkan dua hal yang secara langsung dan tidak langsung menekan PMI.
Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin dalam, menyebabkan cost-push inflation yang signifikan di sisi produksi. Kedua, dari sisi demand atau permintaan, terdapat pengurangan atau pembatalan pesanan ekspor dari buyer.
Baca Juga
Menurut Shinta, pengurangan permintaan ini tidak hanya terjadi dari pasar AS saja, tetapi pasar global secara umum. Sebab, pelaku usaha mengantisipasi disrupsi di pasar-pasar global lain dan potensi resesi global yang meningkat. Selain itu, kontraksi PMI manufaktur pada April juga dikontribusikan oleh koreksi/normalisasi demand di pasar dalam negeri pascalebaran.
Shinta pun memperkirakan kontraksi manufaktur tersebut masih akan berlanjut setidaknya hingga akhir kuartal II/2025.
"Karena kondisi-kondisi ini, kami memperkirakan PMI di bawah 50 [indeks non-ekspansif] masih dapat terus berlanjut setidaknya hingga akhir kuartal II/2025, meskipun kami berharap kontraksinya tidak sedalam kontraksi April 2025," ucap Shinta kepada Bisnis, Jumat (2/5/2025).
Secara realistis, kata Shinta, PMI manufaktur Indonesia akan terus tertekan selama pasar domestik belum mengalami penguatan nilai tukar rupiah yang signifikan. Selain itu, industri juga bakal terus tertekan bila Indonesia belum bisa menciptakan perubahan iklim usaha/investasi yang lebih efektif di lapangan untuk mengantisipasi efek pelemahan kinerja manufaktur dari permintaan eksternal/ekspor.
Oleh karena itu, Shinta mengingatkan pemerintah untuk segera mengambil tindakan agar kinerja manufaktur RI tak semakin terkontraksi. Menurutnya, pemerintah perlu menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar rupiah dalam waktu dekat. Dia menyebut, idealnya nilai tukar rupiah harus bisa dikembalikan ke level Rp16.100 per dolar AS sebagaimana target asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Pemerintah, lanjut Shinta, juga perlu menstimulasi produktivitas sektor riil dan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Hal ini diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan daya beli kelas menengah domestik.
"Idealnya, stimulus-stimulus ini perlu dilakukan dengan reformasi-reformasi struktural terhadap kebijakan iklim usaha/investasi, seperti deregulasi yang lebih efektif, perluasan akses financing usaha, pengetatan audit atau penanggulangan korupsi atas pengeluaran APBN berskala besar, dan lain-lain," imbuh Shinta.
Dia pun mengingatkan, pemerintah perlu menunda kebijakan stimulasi subsidi yang sifatnya tidak menstimulasi trickle down economic effect kepada pelaku usaha di dalam negeri. Shinta mencontohkan, kebijakan yang bisa ditunda itu seperti pengadaan alat utama sistem senjata atau alutsista.
"Ini sebaiknya ditunda atau dikurangi agar potensi pelebaran defisit APBN bisa lebih dikendalikan dan menciptakan confidence yang lebih tinggi bagi pelaku pasar terhadap iklim usaha/investasi nasional," jelas Shinta.
Menurutnya, dengan langkah tersebut, pihaknya berharap iklim usaha atau investasi nasional memiliki stabilitas, kepastian, dan prediktabilitas usaha yang tinggi. Ini penting untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri.
"Daya beli pasar domestik pun bisa didongkrak untuk menciptakan pertumbuhan konsumsi dalam negeri dan mengompensasi efek pelemahan demand manufaktur di sisi ekspor. Dengan demikian, PMI bisa kembali ke level ekspansif," kata Shinta.
Senada, Kepala Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Fithra Faisal Hastiadi juga memproyeksi kontraksi PMI manufaktur Indonesia terus berlanjut hingga beberapa bulan ke depan.
Fithra mengatakan, pemulihan industri dalam jangka pendek diperkirakan masih moderat mengingat rendahnya kepercayaan bisnis dan kehati-hatian konsumen. Menurutnya, tingginya biaya input akibat tekanan nilai tukar yang berkelanjutan tetap menjadi tantangan utama.
Di satu sisi, efisiensi pemasok yang membaik mungkin dapat sedikit mengurangi tekanan produksi. Dia menekankan bahwa, pemulihan sektor secara keseluruhan sangat bergantung pada pemulihan permintaan domestik dan stabilisasi kondisi ekonomi global.
"Kami memperkirakan pembacaan PMI dalam beberapa bulan mendatang tidak akan terlalu menggembirakan, dibebani oleh ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar, serta sejalan dengan proyeksi pertumbuhan PDB [produk domestik bruto] tahun ini sebesar 4,8%," ucap Fithra dalam keterangannya, Jumat (2/5/2025).
Dia mengungkapkan kontraksi PMI pada April ini tak mengagetkan. Sebab, hal itu sejalan dengan proyeksi dari SSI Research. Menurutnya, penurunan skor PMI mencerminkan koreksi musiman setelah ekspansi kuat pada Februari dan Maret. Hal itu sebagian besar didorong oleh produksi yang melebihi permintaan aktual menjelang Ramadan dan Lebaran.
Selain itu, penurunan output yang signifikan terjadi bersamaan dengan melemahnya pesanan domestik dan ekspor. Di satu sisi, permintaan yang melemah menyebabkan penurunan tingkat ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian.
Meski begitu, kata Fithra, perbaikan dalam kinerja rantai pasok menjadi titik cerah di tengah lemahnya sektor secara keseluruhan. Dia menyebut, peningkatan waktu pengiriman dari pemasok untuk pertama kalinya sejak November menunjukkan tekanan logistik mulai mereda. Hal ini berpotensi mengurangi hambatan operasional ke depannya.
"Selain itu, meskipun kepercayaan bisnis turun ke level terendah dalam 3 bulan dan tetap di bawah rata-rata historis, optimisme yang masih bertahan, meskipun terbatas, mengindikasikan kesiapan pelaku manufaktur untuk meningkatkan produksi apabila kondisi pasar stabil atau sinyal permintaan menjadi lebih jelas," jelas Fithra.
Pelemahan Daya Beli Kelas Menengah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, kontraksi PMI manufaktur menunjukan gejala serius pada kondisi industri RI. Menurutnya, penyebab utamanya masih akibat turunnya permintaan baik dari dalam negeri maupun pasar internasional.
Dia juga menyebut, penurunan permintaan dari pasar domestik tak lepas dari melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah.
"Para pelaku industri melihat bahwa selama ini ada beberapa kekhawatiran terhadap daya beli kelas menengah, terutama yang jadi penopang utama permintaan dalam negeri," jelas Faisal kepada Bisnis.
Sementara itu, untuk penurunan permintaan dari luar negeri tak lepas dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Faisal menjelaskan, kebijakan itu berdampak kepada penurunan aktivitas perdagangan dan penurunan permintaan secara global.
"Jadi artinya, bagi pelaku industri adalah bukan hanya pasar domestik yang tertekan, tapi juga ekspor," kata Faisal.
Oleh karena itu, Faisal mengingatkan pemerintah harus turun tangan dan menaruh perhatian serius pada kondisi industri dalam negeri. Menurutnya, pemerintah perlu memperkuat ekonomi domestik. Sebab, hal ini menjadi harapan di tengah potensi melemahnya pasar global.
"Bagi pemerintah untuk mengantisipasi ini, terutama dari ekonomi domestik yang harus diperkuat dengan berbagai kebijakan yang satu sama lain harus sinkron. Fokusnya di situ, karena itu yang ada dalam kontrol pemerintah," jelas Faisal.
Deregulasi & Diversifikasi
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kontraksi manufaktur Indonesia tak lepas akibat perang dagang yang tengah terjadi.
“PMI turun kan karena perang dagang. Jadi dunia kan perdagangan shrinking, pertumbuhan Amerika juga negatif. Jadi ini namanya optimisme yang terganggu oleh trade war,” ujarnya kepada wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (2/5/2025).
Terlebih, Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan pertumbuhan PDB industri Tanah Air akan melandai pada tahun ini menjadi 3,8% dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,2%.
Dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, Bank Dunia memproyeksikan adanya perlambatan sebesar -1,4% tersebut akibat kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengganggu perdagangan global.
Airlangga melihat perdagangan antara AS dan China yang terhenti karena perang dagang memberikan efek negatif ke industri dalam negeri, di mana Indonesia turut menjadi bagian dari supply chain atau rantai pasok perdagangan global.
Untuk itu, kata Airlangga, pemerintah tengah menyusun kebijakan deregulasi untuk meningkatkan geliat manufaktur dalam negeri. Deregulasi ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menekan biaya manufaktur.
“Jadi kami lakukan saja ke depan apa-apa yang harus dilakukan agar biaya untuk manufaktur itu tidak ada biaya tinggi, [yakni] deregulasi,” lanjutnya.
Ke depan, Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah tetap optimistis terhadap industri Tanah Air akan tetap positif. Apalagi, pemerintah tengah membentuk Satgas Deregulasi yang akan menyiapkan sejumlah paket kebijakan.
Selain deregulasi, pemerintah juga tengah mendorong diversifikasi pasar ekspor. Salah satunya dengan mendorong percepatan penyelesaian Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) untuk meningkatkan perdagangan dengan Eropa.
“Memang sudah waktunya untuk mendiversifikasi pasar ekspor dan menurunkan hambatan tarif. Kalau kita turun, yang lain juga menurunkan, maka produk kita akan lebih kompetitif ke depan,” tuturnya.