Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat pada kuartal I/2025 menjadi 4,87%, dari 5,02% pada kuartal sebelumnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa produk domestik bruto atau PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal I/2025 mencapai Rp5.665,9 triliun. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.264,5 triliun.
"Sehingga pertumbuhan ekonomi indonesia pada triwulan I/2025 adalah 4,87% bila dibandingkan dengan triwulan I/2024 atau year on year," ujar Amalia dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025).
Amalia juga menjabarkan bahwa ekonomi Indonesia terkoreksi 0,98% secara kuartalan, yakni apabila membandingkan kinerja kuartal I/2025 dengan kuartal IV/2024.
Amalia menyampaikan bahwa tren ekonomi awal tahun memang selalu lebih lambat dari periode sebelumnya.
“Pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, di setiap kuartal pertama selalu lebih rendah dari kuartal empat tahun sebelumnya,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025).
Tercermin dari melambatnya seluruh komponen pengeluaran pada kuartal I/2025. Baik itu konsumsi rumah tangga, investasi, hingga konsumsi pemerintah yang kontraksi dan berkontribusi negatif.
Konsumsi Pemerintah Melambat
Amalia menjelaskan secara perinci, bahwa konsumsi pemerintah terkontraksi sebesar 1,38% (YoY), lebih rendah dari kuartal IV/2024 yang sebesar 4,17% bahkan dari kuartal I/2024 yang sebesar 19,9%.
Adanya belanja pemerintah yang cukup besar pada awal tahun lalu lebih disebabkan karena adanya Pemilu. Berbeda dengan tahun ini yang bersifat normal alias tak ada momen lima tahunan tersebut.
“Tahun lalu ada pemilu, tahun ini tidak ada pemilu, itu salah satunya [penyebab kontraksi],” ujarnya.
Alhasil, konsumsi pemerintah ini memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,08%. Berbeda dengan kuartal I/2024, dengan pertumbuhan mencapai 5,11% (YoY), konsumsi pemerintah menyumbang 1,09%.
Baca Juga : Penyebab Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I/2025 Melambat: Konsumsi hingga Belanja Negara Lesu |
---|
Amalia juga buka suara soal dampak efisiensi anggaran ke pertumbuhan ekonomi, karena adanya belanja yang tertahan. Menurutnya, efisiensi atau realokasi anggaran itu membuat belanja tidak terjadi pada kuartal I/2025 tetapi akan tetap terealisasi.
"Tentunya nanti ada realokasi anggaran yang dampaknya kelihatannya nanti akan direalisasikan pada kuartal II/2025 dan seterusnya, karena kuartal I/2025 masih ada proses administrasi untuk direalokasi menjadi kegiatan pemerintah atau kegiatan ekonomi lainnya," ujar Amalia.
Konsumsi Rumah Tangga Lesu
Selain konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga juga menunjukkan perlambatan ke level 4,89% pada kuartal I/2025. Lebih rendah dari 4,98% pada kuartal sebelumnnya.
Alhasil, konsumsi rumah tangga yang menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi ini hanya memberikan kontribusi 2,61% terhadap pertumbuhan 4,87%. Kuartal sebelumnya, kontribusi mencapai 2,62%.
Manufaktur dan Pertanian Topang Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi lain, lapangan usaha industri pengolahan dan pertanian menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2025.
Amalia menyampaikan bahwa lapangan usaha pertanian menjadi sumber pertumbuhan terbesar yang mencapai 1,11% terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum yang sebesar 4,87% secara tahunan (year on year/YoY).
“Pertumbuhan ekonomi ini juga ditopang oleh industri pengolahan dengan sumber pertumbuhan 0,93%,” ujarnya.
Selanjutnya, lapangan usaha perdagangan menjelaskan 0,66% dari total pertumbuhan ekonomi. Lalu, lapangan usaha infromasi dan komunikasi memberikan kontribusi sebesar 0,53%. Sementara usaha lainnya menjelaskan 1,64%.
Amalia menjelaskan pada dasarnya seluruh lapangan usaha tumbuh positif pada kuartal I/2025, kecuali pertambangan yang kontraksi 1,23%.
Secara perinci, Amalia menjelaskan bahwa sektor pertanian bahkan tumbuh dua digit sebesar 10,52%, didukung panen raya dan meningkatnya produksi jagung dan padi. Sementara permintaan atas daging dan telur selama Ramadan dan menjelang Idulfitri turut mendorong pertumbuhan usaha ini.
Industri pengolahan tercatat tumbuh 4,55% (YoY), lebih rendah dari 4,89% pada kuartal sebelumnya yang didorong oleh permintaan domestik dan luar negeri.
Investasi Awal Tahun Tumbuh Melambat
Pembentukan Modal Tetap Bruto atau PMTB tercatat tumbuh 2,12% secara tahunan pada kuartal I/2025. Realisasinya lebih rendah dari kuartal IV/2024 yang sebesar 5,03% dan menjadi pertumbuhan terendah dalam dua tahun terakhir.
Amalia menyampaikan bahwa perlambatan PMTB pada kuartal pertama, sehingga lebih rendah dari kuartal IV tahun sebelumnya merupakan hal yang lumrah.
Selain memang tren tahunan, pertumbuhan yang lebih lambat pada tahun ini terjadi sebagai salah satu efek kondisi global yang penuh ketidakpastian.
“PMTB lambat karena kemungkinan investor masih wait and see [kondisi] global. Biasanya awal tahun juga relatif tidak terlalu tinggi,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025).
Melihat secara tren dalam lima tahun terakhir, memang pertumbuhan PMTB selalu melambat pada kuartal I, dibandingkan kuartal IV pada tahun sebelumnya.
Hanya pada kuartal I/2021 PMTB tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,21%, tidak sedalam kuartal IV/2020 yang negatif 6,17%.
Perbandingan dengan Negara Lain
Amalia memaparkan jika dibandingkan dengan negara-negara mitra dagang utama, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2025 (4,87%) lebih tinggi. Seperti ekonomi Malaysia baru tumbuh 4,4%, Singapura (3,8%), Amerika Serikat (2%), hingga Korea Selatan (-0,1%). Namun capaian ini masih lebih rendah dari Vietnam (6,9%) dan China (5,4%).
Kebanyakan negara-negara mitra dagang tersebut mengalami peningkatan pertumbuhan secara tahunan—tidak seperti Indonesia yang mengalami perlambatan pertumbuhan.
Rinciannya, ekonomi China tumbuh dari 5,3% pada kuartal I/2024 menjadi 5,4% pada kuartal I/2025, Malaysia dari 4,2% menjadi 4,4%, Singapura dari 3,2% menjadi 3,8%, maupun Vietnam dari 6% menjadi 6,9%. Artinya secara tahunan, mitra dagang utama Indonesia ini mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi secara tahunan.
Sementara Amerika Serikat mengalami kontraksi dari 2,9% menjadi 2% dan Korea Selatan dari 3,3% menjadi 0,1%.
Sebagai catatan, kondisi perekonomian negara-negara mitra dagang Indonesia menjadi penting di tengah peningkatan ketidakpastian global akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.
Masalahnya, jika perekonomian negara-negara mitra dagang tersebut menurun, maka besar kemungkinan permintaan barang-barang ekspor asal Indonesia akan ikut menurun.