Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mewanti-wanti risiko eskalasi konflik geopolitik antara Iran dan Israel yang mendorong kenaikan ongkos logistik internasional. Hal ini dapat berujung menekan daya beli konsumen dalam negeri.
Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan kondisi ini akan sangat memengaruhi kegiatan ekspor dan impor para pelaku usaha nasional karena produksi dan distribusi ke pasar makin naik.
“Sebab, biaya bahan baku akibat peningkatan biaya logistik dan kenaikan harga minyak akan dibebankan pada masyarakat sebagai konsumen,” kata Yukki kepada Bisnis, dikutip Jumat (27/6/2025).
Pihaknya melalui Institut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI Institute) menilai bahwa konflik Israel-Iran bersifat price-sensitive dalam memengaruhi kenaikan harga acuan komoditas global, khususnya minyak dan gas.
Meskipun kondisi konflik saat ini mulai mereda lantaran gencatan senjata yang tengah berlangsung, tetapi antisipasi tetap harus dijalankan. Terlebih berkaitan dengan rute pengiriman komoditas yang melewati Selat Hormuz dan wilayah terdekatnya.
“Saat ini, para pelaku usaha logistik rantai pasok telah melakukan kalkulasi risiko melewati wilayah perairan yang berdekatan dengan Selat Hormuz,” tuturnya.
Baca Juga
Menurut Yukki, dengan mitigasi risiko menghindari jalur tersebut, akses dan ketersediaan logistik yang melewati perairan tersebut dapat berkurang sehingga mengganggu rantai pasok global.
Selain akses perairan wilayah Selat Hormuz maupun yang berdekatan yang mulai dihindari oleh para pelaku usaha logistik internasional, pelaku usaha rantai pasok global juga khawatir akan dampak lanjutan blokade Laut Merah.
Pasalnya, retaliasi juga dapat dilakukan oleh kelompok Houthi yang memiliki kepentingan kedekatan dengan Iran.
Dalam hal ini, ALFI Institute melihat perubahan jalur logistik dan kenaikan harga komoditas dapat memberikan efek ganda terhadap kenaikan ongkos logistik.
“Blokade Selat Hormuz akan mendisrupsi pasokan minyak dan gas dunia, dimana diestimasikan 20%-30% pasokan dunia melalui wilayah tersebut,” tuturnya.
Apabila Selat Hormuz diblokade, permintaan dunia harus terdiversifikasi antara melalui rute baru atau mengambil pasokan migas baru dari produsen lain dunia.
Sebagai informasi, sebelumnya sejak konflik Israel dan Iran berlangsung pada pertengahan Juni lalu, harga minyak global naik hampir 12% ke titik tertinggi dari US$69 per barel menjadi US$78 per barel, namun saat ini sudah kembali ke titik awal.
Berdasarkan data Reuters pada Kamis (26/6/2025) harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman terdekat naik 54 sen atau 0,8% menjadi US$67,68 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat 55 sen atau 0,9% ke level US$64,92 per barel.
Namun, Yukki menilai kenaikan 12% dalam waktu yang cukup singkat pada komoditas minyak dikhawatirkan akan terus meningkat jika konflik berlangsung lebih lama.
“Kenaikan harga minyak, jika melebihi harga asumsi APBN, maka akan memberikan tekanan terhadap kemampuan APBN merespons situasi eksternal ini,” tuturnya.
Selain tekanan pada APBN, ALFI Institute melihat jika konflik terus berkepanjangan dan tidak dapat diselesaikan, maka konsumsi domestik nasional dapat terpukul dan mulai terlihat dampaknya pada kuartal III/2025.