Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang AS-China Mereda, Ini Untung Ruginya untuk Ekonomi RI

CELIOS menilai bahwa meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa dampak ganda bagi perekonomian Indonesia.
Jajaran gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (7/7/2024). Bisnis/Abdurachman
Jajaran gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (7/7/2024). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai bahwa meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa dampak ganda bagi perekonomian Indonesia.

Di satu sisi, kata Bhima situasi ini memberi sentimen positif berupa peningkatan permintaan global dan stabilisasi nilai tukar. Namun di sisi lain, potensi ancaman terhadap daya saing ekspor nasional dan sektor industri padat karya juga patut diwaspadai.

"Meredanya perang dagang AS-China memberikan sentimen positif sekaligus tantangan bagi ekonomi Indonesia," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (13/5/2025).

Bhima menjelaskan bahwa pulihnya hubungan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia itu bisa mendongkrak permintaan terhadap komoditas ekspor unggulan Indonesia.

Industri manufaktur dan konstruksi di China yang kembali tumbuh diperkirakan akan meningkatkan kebutuhan bahan baku seperti batu bara, nikel, dan kelapa sawit dari Indonesia.

“Harga komoditas unggulan ekspor Indonesia diperkirakan berlangsung pulih sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum,” jelasnya.

Dia juga mencatat bahwa pelemahan kurs rupiah yang selama ini menjadi perhatian pelaku pasar cenderung lebih terkendali.

“Efek imported inflation atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil. Cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah,” lanjutnya.

Namun di balik sentimen positif tersebut, Bhima memperingatkan potensi ancaman yang tidak bisa diabaikan. Salah satunya adalah risiko menurunnya daya saing produk ekspor Indonesia ke pasar AS.

Menurutnya, hal ini terjadi karena tarif bea masuk produk China ke AS lebih rendah dibandingkan Indonesia.

“Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi bisa direbut oleh China. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa kondisi ini bisa berdampak serius terhadap sektor padat karya.

Pasalnya, Bhima menekankan jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China. Investasi dari AS dan negara Eropa justru masif ke China dibanding negara alternatif lainnya termasuk Indonesia.

Dia juga menyoroti bahwa realisasi investasi Indonesia sudah mulai menunjukkan pelemahan.

“Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah kuartal I/2025, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat kontraksi -7,4% (quarter to quarter),” ungkap Bhima.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih aktif dalam melobi AS.

Dia menekankan pentingnya menggunakan leverage yang dimiliki Indonesia, seperti pembaruan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga.

“Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China. Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%,” imbuhnya

Bhima juga mengingatkan tentang ancaman lain yang datang dari pasar domestik: masuknya barang-barang impor dari China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi tarif.

“Pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS,” pungkas Bhima.

Sekadar informasi, Amerika Serikat (AS) dan China akhirnya mencapai kesepakatan “gencatan senjata” perang dagang dengan memangkas tarif impor sementara.

Dalam pengumuman bersama pada Senin (13/5) waktu setempat, AS menyatakan akan menurunkan tarif tambahan terhadap produk asal China dari 145 persen menjadi 30 persen. Sebagai balasan, China juga memangkas tarif atas barang-barang asal AS dari 125 persen menjadi 10 persen. Kebijakan ini akan berlaku selama 90 hari.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper