Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mewanti-wanti kebijakan pemerintah menaikkan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dari semula 7,5% menjadi 10% berpotensi bisa menambah angka pengurangan tenaga kerja alias PHK di sektor padat karya.
Kebijakan kenaikan pungutan ekspor tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2025 (PMK 30/2025) tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) pada Kementerian Keuangan. Nantinya, kebijakan ini mulai berlaku pada 17 Mei 2025.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan bahwa saat ini industri kelapa sawit dalam negeri masih menghadapi banyak tekanan, termasuk tensi perang dagang. Kini, industri ini kembali dihujani dengan kebijakan kenaikan PE CPO menjadi 10%.
Faisal mengkhawatirkan kenaikan PE CPO bisa berdampak negatif terhadap kinerja ekspor CPO dan turunannya. Bukan hanya itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan bisa merembet pada kinerja industri. Terpukulnya industri sawit yang merupakan sektor padat karya dapat memicu terjadinya pemangkasan tenaga kerja.
Jika menengok data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), korban PHK telah mencapai 24.036 orang hingga 23 April 2025. Jumlah PHK hingga April 2025 ini sudah mencapai sepertiga dari total kasus PHK yang terjadi di 2024 sebanyak 77.965 orang.
“Yang mana kita tahu pada sektor ini adalah sektor-sektor padat karya yang dikhawatirkan nantinya malah justru akan menambah potensi pengurangan tenaga kerja juga pada sektor pada karya ini, dan artinya dampak terhadap ekonomi menjadi lebih besar,” kata Faisal kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Baca Juga
Padahal, menurut Faisal, ketegangan perang dagang yang saat ini terjadi membuat industri kelapa sawit tertekan dan berpotensi adanya penurunan volume permintaan ekspor CPO di global.
Selain itu, lanjut dia, beberapa negara mitra juga sudah mulai beralih menggunakan minyak nabati lain karena pengenaan tarif yang lebih tinggi pada minyak sawit. Kondisi ini belum termasuk dari adanya potensi penurunan ekspor CPO ke Amerika Serikat (AS), mengingat Presiden AS Donald Trump yang akan mengenakan tarif timbal balik alias resiprokal kepada Indonesia.
Faisal menyebut, AS merupakan salah satu negara tujuan yang mencatatkan peningkatan ekspor CPO dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi negara tujuan ekspor terbesar keempat.
“Kalau tarif resiprokal terjadi dan diberlakukan, maka jelas akan ada dampak besar terhadap penurunan permintaan CPO di sana,” ujarnya.
Tekanan lainnya adalah industri kelapa sawit juga harus menghadapi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, seperti domestic market obligation (DMO). Untuk itu, Faisal menilai kebijakan kenaikan PE CPO kurang tepat saat ini.
“Kalau dari timing, kurang tepat [kenaikan PE CPO] karena terlalu banyak beban yang diberikan kepada industri ini pada saat sekarang,” tuturnya.
Di sisi lain, Faisal melihat langkah pemerintah mengerek PE CPO dari 7,5% menjadi 10% lantaran ada kebutuhan untuk mendorong penerimaan negara di berbagai pos pada tahun ini.
“Karena dari sisi penerimaan negara di beberapa bulan awal memang rendah, bahkan terkontraksi secara year-on-year [tahunan],” imbuhnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN Maret 2025 mencatatkan defisit Rp104,2 triliun. Adapun, defisit APBN ini setara dengan 0,43% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit itu melebar dari posisi Januari 2025 senilai Rp23,5 triliun dan Februari sebesar Rp31,2 triliun.
Menkeu Sri Mulyani menuturkan, pendapatan negara mencapai Rp516,2 triliun sepanjang Januari—Maret 2025. Penerimaan pajak mencapai Rp322,6 triliun atau 14,7% dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,2 triliun.