Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan praktik dumping atas impor benang filamen polyester yaitu partially oriented yarn-drawn textured yarn (POY-DTY) asal China menyebabkan kerugian serius pada produsen dalam negeri.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, setidaknya empat perusahaan anggota APSyFI terimbas praktik dumping tersebut. Perinciannya, satu perusahaan tutup permanen, satu perusahaan tutup sementara, dan dua perusahaan hanya mengoperasikan 40% fasilitas produksinya.
Menurutnya, realitas pilu di lapangan itu selaras dengan temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan yang menyebut praktik dumping impor POY-DTY China merugikan industri dalam negeri.
"Jadi hasil temuan KADI ini memang menggambarkan kondisi riil di lapangan," ungkap Redma melalui keterangan resmi, Senin (19/5/2025).
Menurutnya, tiga dari empat perusahaan ini rencananya akan kembali menjalankan secara penuh lini produksinya, ditambah satu perusahaan relokasi asal China akan berinvestasi mendirikan lini produksi polyester. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut masih menunggu kepastian penerapan kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) guna mencegah kerugian.
"Tapi reaktivasi tiga perusahaan dan satu perusahaan baru dengan total investasi sekitar US$250 juta ini masih menunggu kepastian pemberlakuan BMAD," tambah Redma.
Dia menjelaskan, dengan reaktivasi tiga perusahaan ini, akan ada tambahan produksi POY sebesar 200.000 ton. Dengan begitu, kebutuhan POY dalam negeri akan tercukupi. Oleh karena itu, dia optimistis impor POY yang tahun lalu mencapai 140.000 ton, bisa dipasok produk lokal.
Kendati demikian, dia tak menampik bahwa ada pihak yang menentang pengenaan BMAD. Redma menyatakan, selama ini memang ada pihak yang mendapatkan rente dari praktik importasi.
Namun, pihaknya tetap merekomendasikan pengenaan BMAD segera. Apalagi, KADI sudah menemukan bukti-bukti akurat praktik dumping.
"Maka direkomendasikan BMAD untuk barang impor asal China. Dan ingat tambahan tarif ini hanya untuk barang impor asal China, kalau impor dari negara lain dengan skema RCEP masih 0%," ungkap Redma.
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman menuturkan, selama ini para importir pedagang, termasuk yang berkamuflase sebagai importir produsen, kerap menentang kebijakan substitusi impor. Imbasnya, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) terus bergantung pada bahan baku hingga produk jadi impor.
"Kelompok ini selalu mencari keuntungan tanpa memikirkan kelanjutan industri ke depan secara ekosistem yang sudah terintegrasi ini," ungkapnya.
Nandi menambahkan bahwa maraknya praktik impor oleh kelompok-kelompok seperti ini, menyebabkan banyak perusahaan TPT bangkrut dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Padahal, industri tekstil ini dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak jika dilindungi.
Nandi lantas mengimbau semua pihak yang mempunyai visi industri untuk melakukan hal yang sama. Menurutnya, murahnya barang impor dumping ini sudah keterlaluan dan di luar nalar.
"Bukannya kita tidak bisa bersaing, asalkan bersaing secara sehat, kita pasti bisa, tapi kalau bersaing dengan cara dumping kan tidak betul," pungkasnya.
Industri Hulu Tekstil Bertumbangan, APSyFI Desak BMAD Benang Diberlakukan
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) merekomendasikan bea masuk antidumping atas impor benang filamen polyester segera diberlakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
