Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biang Kerok Pembatalan Bea Masuk Antidumping dari Kacamata Produsen Benang

Kebijakan kuota impor yang sejatinya ditujukan untuk mengatur tata niaga produk impor justru dijadikan 'permainan' oleh oknum atau mafia pemangku kepentingan.
Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat. Bisnis/Nurul Hidayat
Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menuding mafia impor yang menjadi dalang di balik pembatalan rencana bea masuk antidumping (BMAD) produk benang filamen sintetis tertentu asal China.

Mulanya, rekomendasi BMAD dari Komite Antidumping Indonesia (KADI) telah diterima Kementerian Perdagangan. KADI telah melakukan penyelidikan dugaan praktik dumping atas produk benang filamen yaitu partially oriented yarn (POY) dan drawn texture yarn (YTD).

Hasil penyelidikan KADI disebut telah membuktikan adanya praktik dumping atas produk tersebut yang berasal dari China. Alhasil, KADI menyarankan pengenaan tarif BMAD bervariasi dengan batas atas sebesar 42,3%.

Kendati demikian, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menolak rekomendasi tersebut dan membatalkan rencana pengenaan BMAD dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan kebijakan kuota impor yang sejatinya ditujukan untuk mengatur tata niaga produk impor justru dijadikan 'permainan' oleh oknum atau mafia pemangku kepentingan.

“Maka wajar kalau kebijakan seperti anti dumping atau safeguard ditentang oleh oknum birokrasi, karena mengganggu permainan mereka bersama importir nakal yang selama ini menikmati fasilitas kuota berlebih,” kata Redma dalam keterangan resminya, Minggu (22/6/2025).

Di satu sisi, Redma mendukung upaya pemerintah untuk mengatur tata kelola perdagangan impor lewat syarat Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai perlindungan bagi industri.

Pihaknya menengarai adanya penolakan beberapa kementerian/lembaga (K/L) terhadap rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terkait BMAD terhadap produk benang filament partially oriented yarn (POY) dan drawn texture yarn (YTD) asal China adalah karena pengaruh kuat dari jejaring mafia impor kuota tekstil.

“Tapi di sisi lain hal ini juga menjadi masalah karena menjadi penyebab kerusakan moral di kementerian-kementerian terkait karena menjadi mainan oknum birokrasi,” ujarnya. 

Dia pun memaparkan sejumlah data volume impor benang dan kain yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2008, volume impor benang pintal dan filamen mencapai 130.000 ton, sementara pada 2024 volumenya naik 259% menjadi 467.000 ton.

Tak hanya itu, volume kain tenun, rajut dan nirtenun juga mengalami kondisi serupa. Pada 2008, volume impor produk ini mencapai 294.000 ton, sedangkan tahun lalu mencapai 873.000 ton atau naik 196%.

Mengurangi Ketergantungan Terhadap Impor

Menurut Redma, hal ini tidak selaras dengan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang impor baik yang bersifat konsumsi maupun barang setengah jadi sebagai bahan baku.

Padahal, komitmen substitusi impor yang terimplementasi dalam kebijakan pemerintah akan secara otomatis meningkatkan kinerja industri.

“Tapi sebaliknya, kalau itu hanya omon-omon maka kondisi kinerja industri juga akan turun, jadi tidak perlu menjadikan kondisi eksternal global sebagai alasan karena faktor dominan justru ada di kebijakan kita sendiri,” ujarnya.

Untuk itu, dia mendukung penunjukan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal (DirJend) Bea Cukai yang menjadi tonggak komitmen Presiden Prabowo untuk menyelesaikan persoalan maraknya importasi ilegal.

“Memang harus dari militer, mengingat mafia impor ini sudah terlalu kuat dan terus merajalela, kami mendukung penuh beliau dan siap membantu,” ucapnya.

Di samping itu, Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto telah menyurati Menteri Perindustrian terkait dengan turunnya kinerja industri sebagai akibat pemberian kuota impor yang tidak transparan dan cenderung ugal-ugalan.

“Memang importasi ilegal menjadi satu masalah, tapi alat perlindungan lain terkait PI dan Pertek juga jadi masalah,” ungkap Agus.

KAHMI menyoroti pertumbuhan angka impor tekstil yang terus naik tetapi di sisi lain utilisasi industri terus turun dan pertumbuhan industrinya melambat bahkan cenderung pada deindustrialisasi dini. “Dan mirisnya, justru angka kuota impor keluar dari Kemenperin melalui pertek,” kata Agus.

Senada dengan APSyFI, KAHMI Rayon Tekstil juga mendukung upaya Presiden Prabowo memberantas mafia impor.

“Setelah Bea Cukai kami harap berlanjut pembersihan di K/L lain, sebagai bukti bahwa upaya substitusi impor bukan hanya omon-omon” tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nurbaiti
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper