Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Periode 2015—2017 Ken Dwijugiasteadi menilai tax ratio alias rasio pajak sebagai parameter keberhasilan penguatan pajak tidak tepat.
Ken menjelaskan rumusan perhitungan rasio pajak kerap berbeda di banyak negara. Dia mencontohkan, di Indonesia rasio pajak dihitung berdasarkan pembagian atas penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak serta kepabeanan dan produk domistik bruto (PDB).
Sementara itu, pajak daerah hingga iuran Jaminan Sosial Nasional (JSN) masuk dalam perhitungan rasio pajak di banyak negara maju, terutama anggota OECD.
Oleh sebab itu, dia tidak heran apabila rasio pajak Indonesia kerap jauh lebih rendah dari negara lain. Ken pun menyebut tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi untuk mengukur keberhasilan penguatan pajak lebih baik.
Perhitungan nilai tax buoyancy diperoleh dari perhitungan persentase perubahan penerimaan perpajakan dibagi dengan persentase perubahan PDB.
"Makanya kalau saya, ngukur penerimaan pajak jangan dari tax ratio [rasio pajak], dari tax buoyancy," jelas Ken dalam Diskusi Panel IKPI di Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025).
Baca Juga
Nilai tax buoyancy Indonesia sendiri berada di angka 0,71 pada 2024. Nilai tersebut menurun dibandingkan realisasi tax buoyancy pada 2023 yang mencapai 1,17.
Dalam kondisi ideal, nilai tax buoyancy adalah 1. Angka ini menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan peningkatan penerimaan pajak sebesar 1%.
Artinya, nilai tax buoyancy 0,71 menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional hanya menghasilkan kenaikan penerimaan pajak sebesar 0,71%.
Dengan demikian, penerimaan pajak pada tahun lalu bersifat tidak elastis, karena pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Sementara dalam dua tahun terakhir, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) terus turun: 10,41% pada 2022; 10,31% pada 2023, dan 10,07% pada 2024.
Ken menilai terkikisnya jumlah kelas menengah menjadi penyebab tren penurunan rasio pajak beberapa tahun terakhir.
Ken menjelaskan bahwa selama ini salah satu sumber utama penerimaan pajak berasal dari PPN (pajak pertambahan nilai) yang tergantung pada konsumsi masyarakat. Masalahnya, konsumsi ditopang oleh masyarakat kelas menengah.
"Kalau kelas menengahnya turun, ya konsumsinya menurun, pajaknya [otomatis] turun," ujar Ken.
Memang, PPN—termasuk PPnBM—menyumbang hingga 42,9% dari total penerimaan pajak pada tahun lalu sebesar Rp1.932,4 triliun.