Bisnis.com, JAKARTA— Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menekankan pelindungan konsumen dari barang impor di tengah perang dagang AS vs China.
Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem di Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel mengatakan bahwa terkait perdagangan internasional, Indonesia memiliki daya tawar berupa jumlah penduduk yang tinggi sehingga menawarkan peluang pasar yang besar. Oleh karena itu, di tengah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, pelindungan konsumen di Tanah Air harus menjadi perhatian.
Dia menilai kesadaran terhadap pasar yang besar itulah yang membuat perang dagang pecah di antara dua ekonomi terkuat dunia. Dengan perang dagang yang terjadi pada dua negara itu, menurutnya, bisa membawa risiko berupa paparan tambahan barang impor ke dalam negeri. Hal itu disampaikannya saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertema RUU Perlindungan Konsumen: Memperkuat Lembaga, Menegakkan Perlindungan Warga Negara.
“Mulai dari yang KW, hingga barang bekas. Ini sungguh memprihatinkan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (19/5/2025).
Pelindungan itu, katanya, bisa diberikan melalui aspek moral dan budaya pada Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Melalui aspek ini, dia menyebut konsumen bisa lebih terlindungi dari produk impor.
“Pasar kita jangan jadi objek konsumsi produk impor. Nah konsumen itu harus menjadi bagian dari memperkuat pasar kita,” katanya.
Baca Juga
Lebih lanjut, bentuk pelindungan kepada konsumen, katanya, dengan cara membuat kebijakan yang membatasi impor barang dan jasa yang khas dari Indonesia. Sebagai contoh, dia menyebut impor tekstil bermotif batik dan tenun.
“Jika ini dibiarkan, maka lama-lama perajin meninggalkan profesinya karena tak menghasilkan uang lagi,” katanya.
Menurutnya, RUU Perlindungan Konsumen memiliki kekuatan untuk melindungi pasar dalam negeri, termasuk pada produk-produk khas Tanah Air. Aspek moral, katanya, bisa turut diperhitungkan dalam beleid baru tersebut.
Selain aspek moral yang akan disinggung dalam RUU Perlindungan, dia menilai RUU Perlindungan harus mencakup tiga hal utama, yakni keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen. Dia menilai konsumen selalu berada di posisi yang lemah pada tiga hal tersebut. Kemunculan kebijakan ini, katanya, seharusnya memberikan ruang bagi konsumen mendapatkan haknya melalui produk berkualitas.
“Jadi, suatu saat, setelah produk tersebut dipakai, masih bisa dijual lagi. Jadi tetap memiliki nilai ekonomi. Ini artinya produk tersebut harus berkualitas,” katanya.