Namun, sejak 1 Januari 2018, pengelolaan Blok Mahakam resmi beralih sepenuhnya ke PT Pertamina (Persero) setelah kontrak Total berakhir.
Kala itu, pemerintah memutuskan memberikan porsi saham 60% Blok Mahakam kepada Pertamina dan 10% kepada BUMD, sedangkan 30% sisanya ditawarkan kepada pengelola existing, Total dan Inpex Corporation.
Tawaran porsi saham 30% lebih rendah dari permintaan Total yang ingin mendapatkan 35% saham di wilayah kerja tersebut. Di sisi lain, Total juga diminta harus membayar kepemilikan tersebut.
Total disebut enggan membayar kepemilikan tersebut dan memutuskan hengkang. Pasalnya, sebagai operator existing, Total menginginkan hak partisipasi Blok Mahakam secara cuma-cuma.
Beralih ke Shell, perusahaan asal Inggris itu memutuskan untuk hengkang dari salah satu megaproyek migas Tanah Air, Blok Masela. Pada 2023, 35% hak partisipasi Shell di Blok Masela resmi diambil alih oleh Pertamina dan Petronas.
Niat Shell hengkang mengemuka sejak 2019 dan menyebabkan pengembangan Blok Masela tersendat. Shell menilai bahwa investasi di negara lain lebih menguntungkan sehingga prioritas pada proyek Lapangan Abadi Blok Masela ditinggalkan. Imbasnya, Inpex harus mencari mitra baru untuk menggarap blok tersebut. Proses divestasi Shell juga berlarut-larut hingga 4 tahun lamanya.
Baca Juga
Membuka Harapan Baru
Pengamat menilai masuknya investor migas kakap ke Indonesia berpotensi untuk mendorong penemuan lapangan migas dengan potensi cadangan besar atau big fish.
Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai masuknya perusahaan minyak skala global atau international oil companies (IOCs) ke Indonesia menjadi peluang untuk meningkatkan iklim investasi hulu migas.
Dia juga berpendapat, jika Chevron kembali berinvestasi di RI, perusahaan itu berpotensi menemukan lapangan migas skala besar baru.
"Dengan masuknya perusahaan migas internasional sekelas IOCs seperti Chevron kembali ke hulu migas, peluang untuk bisa ditemukannya lapangan migas skala besar, cadangan minyak di atas 500 juta barel dan gas di atas 3 Tcf [triliun kaki kubik], kembali terbuka," tutur Pri Agung kepada Bisnis, Senin (19/5/2025).
Selain itu, dia juga menilai kabar masuknya kembali Chevron ke sektor hulu migas Tanah Air, memunculkan peluang investasi untuk proyek peningkatan produksi minyak dengan metode enhanced oil recovery (EOR) skala 100.000 barel per hari (bph) ke atas.
Tak hanya itu, investasi carbon capture and storage (CCS) maupun carbon capture, utilization, and storage (CCUS) juga menjadi lebih berprospek untuk bisa terealisasikan.
Menurutnya, hal ini akan menjadi sinyal yang kemudian akan menarik perusahaan-perusahaan sekelas IOCs lainnya untuk berinvestasi di hulu migas Indonesia.
Dia menuturkan, Indonesia memiliki potensi hulu migas yang besar di Asia Pasifik. Hal ini menjadikan RI selalu masuk radar perusahaan migas raksasa untuk berinvestasi, khususnya terkait eksplorasi dan produksi.
Namun, menurutnya, pemerintah malah seringkali terlalu menerapkan micro management dalam pengelolaan hulu migas sehingga lebih terfokus pada berapa biaya investasi dan berapa penerimaan negara.
"Semestinya kan titik beratnya lebih ke arah investasi untuk menggerakkan perekonomian dalam arti luas dan produksi untuk ketahanan energi," kata Pri Agung.
Pernyataan Pri Agung tentu bukan isapan jempol, berdasarkan data SKK Migas, secara total Indonesia memiliki 128 cekungan migas, sementara lebih dari setengahnya atau 65 cekungan belum dikelola. Adapun, potensi sumber daya migas itu mencapai 2,41 miliar barel minyak dan 35,3 Tcf untuk gas.
Lebih lanjut, Pri Agung pun mengingatkan pemerintah untuk bertindak agar para investor migas raksasa global bisa menanamkan modalnya di Tanah Air. Menurutnya, pemerintah perlu memberi kemudahan investasi, meningkatkan kecepatan dalam pengambilan keputusan untuk eksekusi hingga memberikan konsistensi kebijakan-regulasi.
Di samping itu, pemerintah harus memperhatikan kebijakan perdagangan dan harga energi domestik jangan bersifat proteksionis.
"Dalam hal terkait kelayakan keekonomian, pendekatannya jangan mikro manajemen," imbuh Pri Agung.
Pri Agung pun mewanti-wanti pemerintah untuk bergerak cepat. Apalagi, saat ini pengembangan sektor hulu migas menghadapi tantangan di tengah tren transisi energi. Tantangan itu seperti persaingan investasi dengan negara lain yang ketat.
Selanjutnya, saat ini penggarapan hulu migas memiliki tuntutan untuk dipadukan dengan low carbon emission. Di sisi lain, tidak banyak investor yang bisa memiliki kemampuan lengkap dari eksplorasi-produksi hingga CCS/CCUS.
"Makanya, kita perlu akomodatif, apalagi jika sudah ada [Chevron] sekelas IOCs yang tertarik," kata Pri Agung.