Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan kinerja pertumbuhan industri makanan dan minuman atau mamin stagnan, bahkan cenderung melambat tahun ini. Ada berbagai faktor yang menjadi tantangan utama, salah satunya risiko tarif Trump.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan tahun ini pihaknya tak yakin bisa melampaui angka 5% secara kumulatif. Dia melihat kondisi usaha yang cukup sulit, terlebih di sektor minuman.
“Sekitaran itu [5%]. Padahal saya ingin kalau bisa lebih ya. Kan waktu itu saya pernah bilang kita berharap bisa 6% lebih ya, tapi kelihatannya berat,” ujar Adhi saat ditemui Bisnis.com beberapa waktu lalu.
Data Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) menunjukkan bahwa kinerja industri minuman terkontraksi 1,3% awal tahun ini. Hal ini dipicu pelemahan daya beli dan dampak perang dagang AS-China hingga efek lanjutan pascapandemi.
Oleh karena itu, Adhi tak banyak berekspektasi lebih untuk mengejar pertumbuhan di atas angka 5%. Menurut dia, jika industri mamin bisa mencapai level tersebut tahun ini, hal itu sudah sangat positif, mengingat situasi yang sulit.
“Ada sektor-sektor yang melambat seperti itu. Contohnya minuman itu jelek. Kemudian makanan beberapa kayak bumbu-bumbuan itu masih bagus ya sehingga saya belum bisa melihat mana yang angka koreksinya mau sampai seberapa. Ini terus terang agak sulit. Kali ini benar-benar situasinya tidak mudah,” ujarnya.
Baca Juga
Adhi menerangkan, pihaknya prihatin atas langkah pemerintah AS, khususnya pengenaan tarif balasan untuk Indonesia. Padahal, selama ini kedua negara telah menjalin kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan dan saling melengkapi.
“Amerika merupakan pasar ekspor prioritas untuk beberapa produk unggulan makanan dan minuman dari Indonesia seperti produk kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, lemak nabati, produk perikanan dan turunannya,” jelasnya.
Sementara itu, tambah Adhi, industri makanan dan minuman Indonesia mengimpor berbagai bahan baku industri dari Amerika. Beberapa di antaranya adalah gandum, kedelai dan susu.
Menurutnya, hubungan perdagangan tersebut mendukung pertumbuhan ekonomi kedua negara. Untuk itu, menjaga stabilitas dan kelancaran hubungan perdagangan antara Indonesia dan AS menjadi krusial.
Apalagi, pihaknya telah mengidentifikasi beberapa dampak utama dari tarif bea masuk ke AS yang akan berpengaruh pada kenaikan biaya produksi, penurunan ekspor hingga hilangnya lapangan pekerjaan.