Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana menambah pasokan listrik secara masif guna menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2029. Hal ini terlihat dari perencanaan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034.
Dalam RUPTL perdana yang diterbitkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut, rencana penambahan pembangkit listrik ditargetkan mencapai 69,6 gigawatt (GW). Angka ini lebih tinggi dibandingkan RUPTL 2021–2030 yang hanya 40,6 GW.
Adapun, 61% atau 42,6 GW dari total kapasitas pembangkit dalam RUPTL 2025-2034 akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Sementara itu, porsi pembangkit fosil dipatok sebesar 24% atau 16 GW yang terdiri atas gas 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW. Sisanya, 10,3 GW berupa penyimpanan atau storage yang terdiri atas baterai 4,3 GW dan PLTA pumped storage 6 GW.
Namun, target yang terbilang ambisius itu dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko kelebihan pasok (oversupply) sebagaimana pernah terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kala itu, pemerintah mencanangkan megaproyek 35.000 megawatt (MW) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di rentah 7-8%. Oversupply terjadi lantaran pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi listrik tak setinggi proyeksi awal.
Untuk itu, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengingatkan pemerintah harus lebih hati-hati dalam mengeksekusi perencanaan penambahan pembangkit. Sebab, tantangan oversupply listrik masih membayangi.
"Harus sangat hati-hati dalam perencanaan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi berlebihan di masa lalu akibatnya fatal pada oversupply saat ini dan kerugian APBN belasan triliun setiap tahunnya," jelas Putra kepada Bisnis, Senin (26/5/2025) malam.
Kendati demikian, dia mengatakan, peningkatan bauran EBT dalam RUPTL 2025-2034 patut diapresiasi. Menurutnya, hal ini menjadi indikator komitmen maju dan semakin menantangnya pendanaan PLTU baru.
Putra pun menyebut, yang lebih penting adalah memastikan proses pengadaan dari PLN berjalan cepat dan benar. Apalagi, investasi ketenagalistrikan dan energi bersih dalam 6 tahun terakhir cenderung datar dan menurun meski telah ada RUPTL 2021–2030.
"Target ambisius yang perlu keseriusan dan pengadaan yang jelas," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyambut baik terbitnya RUPTL 2025-2034. Menurutnya, pengusaha bisa ikut berpartisipasi secara maksimal jika proyek yang dikerjakan bisa lebih bankable.
Baca Juga
Adapun, kebutuhan investasi untuk sektor ketenagalistrikan dalam RUPTL 2025-2034 diproyeksikan mencapai Rp2.967,4 triliun. Kebutuhan investasi itu untuk pembangunan pembangkit mencapai Rp2.133,7 triliun, transmisi Rp565,3 triliun, dan lainnya Rp268,4 triliun.
Khusus investasi di sektor pembangkit yang mencapai Rp2.133,7 triliun, sekitar 73% dialokasikan untuk partisipasi produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Menyambut peluang tersebut, Arthur mengaku masih menunggu detail resmi setiap proyek pembangkit listrik per lokasi yang akan dilelang PLN.
"Sebaiknya project detail per lokasi kami lihat dulu. Tentunya kelayakan finansial jadi pertimbangan besar, apakah bankable atau tidak," ucap Arthur.
Dia juga mengingatkan agar pemerintah benar-benar mengimplementasikan perencanaan yang sudah disetujui di RUPTL itu. Arthur menyebut, pemerintah harus memastikan proyek kelistrikan bisa berjalan tanpa hambatan.
"[Jangan ada hambatan] perizinan, pembebasan lahan, hingga financial close pendanaan sehingga semua tepat waktu tanpa delay lagi," katanya.
Industri Didorong Serap Listrik PLN
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui bahwa penambahan pembangkit dalam RUPTL 2025-2034 dipatok lebih tinggi. Hal ini demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029.
"Ini semua kita lakukan dengan memperhitungkan, mempertimbangkan tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang mencapai pada akhirnya 8%. Jadi konsumsi listrik per kapita kita juga, kita hitung secara seksama," kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Terlebih, saat ini pemerintah juga tengah menggenjot hilirisasi dan industrialisasi yang memerlukan pasokan listrik yang besar dan andal.
Untuk meningkatkan penyerapan listrik, pemerintah juga akan mewajibkan pelaku industri, yang tadinya menggunakan pembangkit listrik sendiri atau captive power, untuk menyerap listrik PLN.
"Nah, kami ingin mereka harus punya [listrik dari] PLN. PLN harus memberikan market captive daripada industri tersebut," kata Bahlil.
Porsi Fosil Jadi Ganjalan
Di sisi lain, masih adanya porsi pembangkit fosil dalam RUPTL 2025-2034 dinilai menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, investor di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan 2025-2034. Sebab, pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
"Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal," kata Bhima dalam keterangan tertulis.
Dia juga berpendapat RUPTL anyar ini justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi.
"Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil," katanya.