Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk membubarkan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, termasuk Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Sekretaris Jenderal Hipmi, Anggawira, menyatakan bahwa meskipun belum sepenuhnya efektif, keberadaan Satgas tersebut menjadi simbol komitmen negara dalam memberantas praktik ilegal yang kerap menghambat iklim usaha.
“Banyak pengusaha melihat ini sebagai langkah mundur dalam reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Senin (17/7/2025).
Menurutnya, tanpa Satgas ini, muncul kekhawatiran akan bangkitnya kembali “raja-raja kecil” di birokrasi, khususnya di daerah, yang merasa tidak diawasi.
Anggawira mengakui praktik pungutan liar masih terjadi di berbagai sektor, meskipun sebagian telah berkurang berkat digitalisasi layanan. Namun, pelaku usaha—khususnya UMKM dan pengusaha skala menengah—masih sering menghadapi pungli dalam proses perizinan, distribusi barang, hingga pengawasan lapangan.
“Seringkali pungli dibungkus dengan istilah ‘uang rokok’, ‘biaya pelicin’, atau ‘uang koordinasi’,” ujarnya.
Baca Juga
Dia memaparkan bahwa pungli kerap ditemukan dalam sektor perizinan, seperti izin lingkungan, izin lokasi, IMB, izin industri, dan operasional. Meskipun sistem Online Single Submission (OSS) sudah diterapkan, pelaksanaannya tetap bergantung pada pejabat daerah.
Selain itu, praktik pungli juga masih marak di sektor konstruksi dan pembangunan pabrik, khususnya dalam pengawasan lapangan, inspeksi teknis, hingga pelaksanaan proyek.
Distribusi dan logistik juga tak luput dari masalah serupa. Banyak pelaku usaha mengeluhkan pungli saat pengiriman barang, termasuk di pos pemeriksaan jalan, pelabuhan, dan terminal logistik.
Pungli juga terjadi dalam operasional harian, seperti saat menghadapi pemeriksaan dari instansi teknis, misalnya dalam pengawasan ketenagakerjaan, kesehatan, maupun keamanan.
Anggawira menyarankan agar bila Satgas benar-benar dibubarkan, fungsi pengawasan perlu diperkuat melalui kolaborasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) bersama KPK dan Ombudsman, serta dibarengi dengan pembukaan kanal pelaporan yang mudah diakses pelaku usaha.
Dia juga mendorong perluasan dan pendalaman digitalisasi proses perizinan dan layanan publik, termasuk pemaksaan penerapan sistem OSS-RBA dari pusat hingga daerah. Sistem digital dinilai penting untuk menutup celah interaksi langsung yang membuka peluang pungli.
Terkait transparansi dan akuntabilitas layanan, Anggawira menyarankan publikasi biaya secara masif melalui media seperti billboard, QR code, atau kanal resmi pemerintah. Petugas juga diminta wajib mengenakan ID card resmi dan menyediakan kanal pelaporan langsung.
Di sisi lain, dia menekankan pentingnya perlindungan bagi pelapor (whistleblower protection).
“Banyak pelaku usaha enggan melapor karena takut dibalas. Harus ada sistem perlindungan dan pelaporan anonim yang dijamin oleh pemerintah,” pungkasnya.