Bisnis.com, JAKARTA — Ekspor minyak sawit dari Indonesia diperkirakan akan meningkat seiring dengan tren pasar minyak nabati global diproyeksi akan menghadapi ekspansi yang signifikan pada akhir 2025 hingga pertengahan 2026.
Analisis dari Hedgepoint Global Markets menunjukkan bahwa peningkatan produksi di negara-negara produsen utama akan mendorong lonjakan pasokan, yang pada gilirannya memungkinkan peningkatan konsumsi dan volume impor dari negara-negara konsumen utama.
Salah satu pendorong utama di balik peningkatan konsumsi ini adalah semakin besarnya permintaan untuk biofuel, dengan beberapa negara diperkirakan akan meningkatkan bauran wajib.
Adapun sektor minyak sawit diperkirakan akan mengalami peningkatan pasokan yang substansial pada musim 2025/2026, didorong oleh proyeksi peningkatan produksi di dua raksasa penghasil dan pengekspor minyak sawit yakni Indonesia dan Malaysia.
Jika perkiraan produksi yang lebih tinggi ini terwujud, maka ekspor dari kedua negara tersebut akan meningkat lebih lanjut.
Laporan Hedgepoint menjelaskan, Indonesia, sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia, diproyeksikan melihat produksinya melonjak dari 46 juta ton pada 2024/25 menjadi 47,5 juta ton pada musim 2025/2026. Kenaikan ini akan memungkinkan peningkatan ekspor dari 22,6 juta ton menjadi 24 juta ton.
Baca Juga
Demikian pula, Malaysia, produsen dan eksportir terbesar kedua, diperkirakan akan meningkatkan produksinya dari 18,7 juta ton menjadi 19,2 juta ton, dengan ekspor naik dari 15,4 juta ton menjadi 15,8 juta ton di musim baru.
"Di sisi permintaan, kami menyoroti tren pertumbuhan impor yang kuat dari India, yang diperkirakan naik dari 7,7 juta ton menjadi 8,7 juta ton pada 2025/26. Tren ini berkebalikan dan terkait dengan potensi penurunan impor minyak kedelai," jelas Koordinator Intelijen Pasar di Hedgepoint Global Markets, Luiz Roque, dalam keterangan tertulis, Jumat (13/6/2025).
Meski demikian, angka-angka ini masih bersifat proyeksi penuh dan dapat berubah secara signifikan. "Jika produksi sawit di Indonesia dan Malaysia lebih rendah dari perkiraan saat ini, kita bisa melihat perubahan signifikan pada angka ekspor dan impor, serta stok akhir," tambah Roque.
Menariknya, hubungan harga antara minyak kedelai dan minyak sawit menunjukkan skenario yang lebih menguntungkan bagi peningkatan konsumsi minyak sawit dalam beberapa bulan mendatang, mengingat harganya yang kini lebih rendah dari minyak kedelai.
Pada periode ini, diperkirakan akan membawa pasokan minyak kedelai yang lebih besar ke pasar global, berkat proyeksi peningkatan produksi di negara-negara produsen dan pengekspor utama seperti Argentina, Brasil, dan Amerika Serikat.
Di sisi permintaan, konsumsi di China dan India diperkirakan akan meningkat, bersamaan dengan peningkatan penggunaan domestik di negara-negara produsen besar tersebut.
Khusus China, peningkatan pasokan juga berasal dari peningkatan penghancuran kedelai yang kemungkinan akan membutuhkan impor kedelai yang lebih besar (112 juta ton).
Menurut Roque, meskipun pasokan meningkat, stok akhir dunia diperkirakan hanya sedikit lebih tinggi dari musim 2024/25, mengingat konsumsi global yang terus tumbuh signifikan.
"Pergerakan ini terutama disebabkan oleh peningkatan penggunaan minyak kedelai untuk memproduksi biodiesel di beberapa negara," katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa angka-angka ini didasarkan pada proyeksi hasil panen penuh di negara-negara produsen kedelai utama, yang masih perlu dikonfirmasi.
"Di sisi permintaan, kami menyoroti tren penurunan konsumsi dan, akibatnya, minat impor yang lebih rendah dari India, yang diperkirakan akan kembali memprioritaskan penggunaan minyak sawit karena potensi peningkatan produksi dari 'tetangganya' Indonesia dan Malaysia," tambahnya.