Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biaya Impor Minyak Terancam Bengkak Jika Iran Tutup Selat Hormuz

Pertamina tengah menghitung risiko kenaikan biaya impor minyak di tengah rencana Iran menutup Selat Hormuz usai adanya serangan dari AS dan Israel.
Kapal pengangkut minyak dan gas/dok. website Pertamina EP
Kapal pengangkut minyak dan gas/dok. website Pertamina EP

Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) mulai menghitung potensi kenaikan biaya operasional impor minyak imbas memanasnya konflik di Timur Tengah.

Konflik kian memanas usai Amerika Serikat (AS) menyerang tiga fasilitas nuklir Iran. Ketegangan di wilayah tersebut turut meningkatkan kekhawatiran ditutupnya Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak dunia.

Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, jika benar ada penutupan selat Hormuz, tentu sedikit banyak akan berdampak pada distribusi minyak mentah. Apalagi, 20% pelayaran minyak mentah melalui selat tersebut.

Oleh karena itu, Pertamina berencana mengalihkan rute kapal pengiriman minyak. Namun, hal ini berpotensi menaikkan biaya logistik.

"Pertamina telah mengantisipasi hal tersebut dengan mengamankan kapal kita, mengalihkan rute kapal ke jalur aman melalui Oman dan India misalnya. Terkait biaya operasional masih kita cek," kata Fadjar kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

Di sisi lain, untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia imbas perang, Pertamina juga terus berupaya menaikkan lifting di dalam negeri.

Pertamina sendiri menargetkan produksi minyak siap jual (lifting) sebanyak 748.000 barel per hari pada  2025 ini. 

"[Produksi] domestik terus kami tingkatkan," kata Fadjar.

Konflik di Timur Tengah juga membuat harga minyak dunia terancam naik hingga berimbas pada risiko kenaikan harga BBM di Indonesia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, konflik Iran-Israel berpotensi mengerek harga minyak dunia. Alhasil, konflik ini akan berdampak pada inflasi dunia. 

“Kenaikan harga minyak akan diikuti kemudian dengan kenaikan harga bensin di berbagai negara yang menggunakan bensin termasuk juga, tentunya adalah Indonesia yang merupakan net importir minyak,” kata Faisal.

Bahkan, Faisal menyebut, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak terhadap peningkatan nilai impor Indonesia. Begitu pula dengan inflasi yang akan meningkat.

Sebab, harga minyak sangat mudah terpengaruh oleh dinamika geopolitik. Imbasnya, kondisi ini mengancam stabilitas pasokan minyak global.

Faisal menuturkan bahwa serangan saling membalas antara Iran dengan Israel sudah mengerek harga minyak dari US$60-an per barel menjadi US$75-an per barel. Menurutnya, jika AS semakin ikut terlibat di dalam konflik Iran—Israel, maka harga minyak dunia bisa tembus di atas US$100 per barel. 

“Ini [harga minyak] bisa mengerek lebih jauh lagi jika Amerika ikut campur dan kemudian eskalasi bisa mendorong sampai di atas US$80 per barel. Dan jika berterusan, ini tidak menutup kemungkinan bisa sampai US$100 per barel,” ujarnya.

Sementara itu, melansir Reuters, Analis SEB Ole Hvalbye menyebut patokan minyak global Brent bisa naik US$3 hingga US$5 per barel saat pasar dibuka hari ini. 

Pada penutupan perdagangan Jumat lalu, Brent tercatat di level US$77,01 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di US$73,84. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper