Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia mencapai surplus US$4,3 miliar per Mei 2025.
Dengan demikian, Indonesia mencatatkan surplus selama 61 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menjabarkan bahwa Indonesia mencatatkan ekspor senilai US$24,61 miliar atau naik 9,68% (year on year/YoY). Adapun, nilai impor mencapai US$20,31 miliar atau naik 4,14% YoY. Alhasil Indonesia mencatatkan surplus neraca dagang US$4,3 miliar.
"Pada Mei 2025, neraca perdagangan barang mencatat surplus sebesar US$4,3 miliar dan neraca perdagangan indonesia telah mencatat surplus selama 61 bulan berturut turut sejak Mei 2020," ujar Pudji pada Selasa (1/7/2025).
Surplus pada Mei 2025 lebih ditopang oleh surplus pada komoditas non-migas yaitu sebesar US$5,83 miliar dengan komoditas penyumbang surplus utama adalah lemak dan minyak hewani/nabati (HS15), bahan bakar mineral (HS27), serta besi dan baja (HS72).
Pada saat yang sama, neraca perdagangan nonmigas tercatat defisit US$1,53 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Baca Juga
Sebelumnya, konsensus proyeksi 16 ekonom yang dihimpun Bloomberg menyebut median nilai surplus neraca perdagangan pada Mei 2025 diperkirakan mencapai US$2,39 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi surplus pada April 2025 yang hanya sebesar US$160 juta.
Estimasi tertinggi berasal dari ekonom Mega Capital Indonesia, Lionel Priyadi, yang memperkirakan surplus perdagangan mencapai US$4,9 miliar. Di sisi lain, estimasi terendah berasal dari ekonom Oversea-Chinese Banking, Lavanya Venkateswaran, yang memperkirakan defisit sebesar US$1,8 miliar.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual memperkirakan surplus neraca dagang mencapai US$4,01 miliar pada Mei 2025. Ia menilai lonjakan surplus tersebut lebih disebabkan oleh pelemahan impor yang cukup tajam.
Secara perinci, David memaparkan bahwa ekspor naik sebesar 5,52% secara tahunan (YoY) dan tumbuh 13,58% secara bulanan (MoM). Di sisi lain, impor hanya naik tipis 0,74% (YoY), bahkan mencatat penurunan 5,06% secara bulanan.
"Secara keseluruhan terms of trade Indonesia turun dibandingkan bulan lalu, terutama karena harga CPO turun relatif lebih dalam dibandingkan minyak atau batubara," jelas David kepada Bisnis, Senin (30/6/2025).
Mengacu pada big data, ia menyebutkan bahwa baik belanja dari sisi importir maupun penerimaan dari eksportir sama-sama mengalami perlambatan. Namun, penurunan belanja impor lebih signifikan, mencapai -20%.
"Dari rilis data ekspor-impor negara lain terhadap Indonesia, impor Indonesia memang jauh lebih melambat dibandingkan ekspor sehingga surplus membesar," ungkapnya.