Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dagang dengan Vietnam, menyusul serangkaian diplomasi intensif dalam beberapa pekan terakhir.
Pengumuman tersebut datang menjelang tenggat waktu 9 Juli, di mana tarif impor dari Vietnam ke AS dijadwalkan mengalami kenaikan signifikan.
Melalui unggahan di media sosial pada Rabu (2/7/2025), Trump menyatakan tarif sebesar 20% akan dikenakan terhadap ekspor Vietnam ke AS. Sementara itu, tarif sebesar 40% akan diberlakukan untuk barang-barang yang dianggap sebagai hasil transshipment—yakni produk yang berasal dari negara ketiga, seperti China, yang hanya melalui proses perakitan ringan di Vietnam sebelum diekspor ke AS.
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Vietnam sepakat untuk menghapus seluruh tarif terhadap produk-produk impor dari AS.
“Dengan kata lain, mereka akan ‘membuka pasar mereka untuk AS, artinya, kita dapat menjual produk ke Vietnam dengan tarif nol,” tulis Trump dikutip dari Bloomberg, Kamis (3/7/2025).
Trump mengklaim kesepakatan ini tercapai setelah melakukan pembicaraan langsung dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam.
Baca Juga
Kementerian Luar Negeri Vietnam dalam pernyataan resminya menyampaikan bahwa dalam percakapan kedua pemimpin tersebut, Trump menyatakan komitmen untuk terus bekerja sama menyelesaikan isu-isu yang menghambat hubungan dagang bilateral. To Lam juga meminta agar AS mengakui Vietnam sebagai ekonomi pasar dan mencabut pembatasan ekspor untuk produk teknologi tinggi tertentu.
Meskipun Trump telah mengungkap garis besar kesepakatan ini, Gedung Putih belum merilis dokumen resmi atau pengumuman presiden yang mengesahkan perjanjian tersebut. Sebagian detail perjanjian diperkirakan masih dalam tahap finalisasi. Sebagai perbandingan, kesepakatan dagang AS-Inggris yang diumumkan pada awal Mei lalu baru ditandatangani secara resmi pada pertengahan Juni.
Kesepakatan dengan Vietnam ini menjadi yang ketiga diumumkan oleh Trump, setelah kesepakatan dengan Inggris dan China. Negara-negara mitra dagang kini berlomba menyelesaikan kesepakatan sebelum tenggat 9 Juli.
Sebelumnya, Trump sempat menetapkan tarif 46% terhadap produk Vietnam sebagai bagian dari kebijakan tarif timbal balik yang diumumkan pada April. Namun, tarif itu diturunkan sementara menjadi 10% guna memberi ruang negosiasi.
Vietnam menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Trump. Di satu sisi, negara ini dipandang sebagai mitra strategis dalam upaya membendung pengaruh China di Asia. Di sisi lain, produk ekspornya telah menjadi bagian penting bagi konsumen AS.
Lonjakan ekspor Vietnam ke AS dalam beberapa tahun terakhir dipicu oleh relokasi produksi dari China. Negara Asia Tenggara ini kini menjadi pemasok utama tekstil dan pakaian olahraga, termasuk bagi perusahaan-perusahaan seperti Nike Inc., Gap Inc., dan Lululemon Athletica Inc.
Menurut data Biro Sensus AS, Vietnam menempati posisi keenam sebagai negara pengekspor terbesar ke AS tahun lalu, dengan nilai ekspor hampir US$137 miliar. Surplus dagangnya terhadap AS juga tercatat ketiga terbesar setelah China dan Meksiko. Pengiriman barang dari Vietnam melonjak 35% pada Mei 2025, seiring upaya eksportir mempercepat pengiriman menjelang tenggat tarif.
Pasar saham AS menyambut positif pengumuman tersebut. Indeks S&P 500 menguat, sementara saham produsen furnitur dan pakaian mencatat kenaikan, termasuk ON Holding, Nike, dan Lululemon yang sempat menyentuh level tertinggi harian.
Beberapa pejabat AS sebelumnya mendorong agar tarif untuk Vietnam dan negara Asia Tenggara lainnya ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk China, guna mendorong peralihan produksi dari Negeri Tirai Bambu.
Namun, tarif 40% tetap akan dikenakan untuk produk yang dianggap sebagai hasil transshipment. Masalah ini telah lama menjadi perhatian utama penasihat dagang Trump, termasuk Peter Navarro, yang sempat menyebut Vietnam sebagai koloni komunis China dalam wawancara dengan Fox News pada April lalu.
Rincian lengkap mengenai jenis barang yang akan dikenakan tarif 40% tersebut belum diumumkan secara resmi.
Ekspor AS ke Vietnam tercatat hanya sekitar US$15 miliar tahun lalu. Trump menyatakan optimisme bahwa kesepakatan ini akan meningkatkan ekspor mobil AS, terutama kendaraan jenis SUV.
“Menurut saya, SUV atau yang juga dikenal sebagai kendaraan mesin besar, yang sangat populer di AS, akan menjadi tambahan menarik bagi lini produk di Vietnam,” tulisnya di platform Truth Social.
Namun, ambisi ini kemungkinan tidak mudah terwujud. Pasalnya, SUV buatan AS meski lebih murah dan kompak dibandingkan model lain, tetap tergolong mahal bagi konsumen Vietnam yang memiliki pendapatan per kapita hanya sekitar US$4.500—sekitar 1/20 dari AS, menurut IMF. Pasar otomotif Vietnam juga masih didominasi sepeda motor.
Meski awalnya Trump dan timnya berencana melakukan negosiasi serentak dengan puluhan negara, dalam beberapa pekan terakhir strategi tersebut diubah dengan hanya fokus pada ekonomi besar, sementara negara-negara kecil yang tidak mencapai kesepakatan akan langsung dikenai tarif sepihak.
Kesepakatan dengan Vietnam tercapai setelah tekanan berulang dari AS agar negara tersebut memperketat pengawasan terhadap penipuan dagang, memperkuat penegakan hukum terhadap transshipment produk China, serta menghapus hambatan non-tarif.
Sebagai respons, Vietnam menawarkan penghapusan seluruh tarif impor dari AS dan menjanjikan peningkatan pembelian produk AS, termasuk penandatanganan kontrak pembelian produk pertanian senilai US$3 miliar. Sejumlah pejabat tinggi Vietnam bahkan terbang ke AS untuk menjajaki dukungan dari pelaku industri seperti Nike dan Gap.
Selain itu, pejabat Vietnam juga menyoroti proyek properti mewah Trump Organization senilai US$1,5 miliar yang akan dibangun di negara tersebut. Proyek ini akan mencakup hotel bintang lima, lapangan golf, dan kawasan residensial di atas lahan seluas lebih dari 990 hektare.
Putra Trump, Eric Trump, hadir dalam acara peletakan batu pertama proyek tersebut pada Mei lalu, bersama Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh.