Bisnis.com, JAKARTA — Komoditas seperti produk tekstil disebut akan menjadi salah satu segmen usaha yang mendapat efek positif dari perjanjian Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Sebaliknya, komoditas berbasis sumber daya alam dinilai menjadi yang paling rentan jika perjanjian tersebut telah diimplementasikan.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menuturkan, dari berbagai sektor komoditas, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) diprediksi akan paling diuntungkan secara langsung oleh implementasi IEU-CEPA.
Menurutnya, hal ini karena IEU-CEPA akan menghapuskan tarif pada produk TPT Indonesia ke Uni Eropa. Dia menuturkan, pada 2024, nilai impor Uni Eropa dari Indonesia di sektor alas kaki mencapai US$1,73 miliar, pakaian nonrajut US$617,9 juta, dan pakaian rajut US$399,19 juta.
"Namun, untuk dapat benar-benar meraih manfaat tersebut, industri tekstil Indonesia harus memenuhi standar keberlanjutan yang ketat dari Uni Eropa, yang menjadi prasyarat mutlak untuk akses pasar," jelasnya saat dihubungi, Senin (14/7/2025).
Sebaliknya, sektor yang paling rentan Menurut Josua adalah komoditas berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit, kayu, dan kakao. Dia mengatakan, selama ini komoditas-komoditas tersebut menghadapi tantangan besar dari regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Baca Juga
Josua menuturkan, regulasi ini menegaskan bahwa produk yang masuk ke pasar Uni Eropa tidak boleh berasal dari kawasan yang mengalami deforestasi. Meskipun IEU-CEPA berpotensi memberi kemudahan akses tarif, Josua menilai komoditas-komoditas ini tetap harus melewati tantangan yang tinggi dalam aspek compliance terhadap standar lingkungan Uni Eropa, termasuk dalam verifikasi deforestasi.
Dia melanjutkan, perjanjian IEU-CEPA juga tampaknya tidak akan menciptakan kelonggaran terhadap kebijakan EUDR. Sebaliknya, IEU-CEPA justru akan memperkuat implementasi kebijakan lingkungan Uni Eropa dengan menjadikan aspek keberlanjutan sebagai syarat utama akses pasar.
Dengan adanya IEU-CEPA, kepatuhan terhadap regulasi seperti EUDR dan berbagai standar lainnya yang tercantum dalam European Green Deal—seperti Ecodesign for Sustainable Products Regulation (ESPR), Durable and Recyclable Textiles, Digital Product Passport (DPP), Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), serta regulasi REACH mengenai bahan kimia—menjadi semakin penting dan tidak bisa diabaikan oleh eksportir Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Uni Eropa bahwa perjanjian dagang modern tidak hanya berfokus pada liberalisasi pasar semata, tetapi juga mengintegrasikan aspek-aspek sustainability yang bersifat wajib untuk dipenuhi.
"Artinya, eksportir Indonesia harus lebih serius mempersiapkan transformasi bisnis yang berkelanjutan, seperti memastikan rantai pasok yang transparan dan bebas deforestasi, mengadopsi produksi yang ramah lingkungan, serta memenuhi standar sosial yang berlaku di Uni Eropa," jelasnya.
Menggenjot Nilai Ekspor
Adapun, Josua melanjutkan, penyelesaian IEU-CEPA secara signifikan dapat mengerek nilai ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa dalam jangka menengah hingga panjang.
Dia memaparkan, berdasarkan kesepakatan tersebut, sekitar 80% ekspor produk Indonesia ke Uni Eropa akan menikmati tarif nol dalam 1—2 tahun ke depan. Pemerintah Indonesia memproyeksikan ekspor ke Uni Eropa berpotensi meningkat lebih dari 50% dalam kurun waktu 3—4 tahun setelah implementasi perjanjian ini.
Dalam konteks tersebut, penghapusan tarif tidak hanya akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia, tetapi juga akan memperluas pangsa pasar yang sebelumnya terhambat oleh tarif tinggi.
"Dalam jangka panjang, peningkatan ekspor ini akan berdampak positif bagi neraca perdagangan Indonesia sekaligus membuka peluang pengembangan industri hilir yang berorientasi ekspor," tambahnya.