Bisnis.com, JAKARTA — Tingginya harga biodiesel dinilai akan menjadi tantangan dalam implementasi bahan bakar campuran minyak solar dengan minyak nabati berbasis sawit 50% atau B50.
Menurut Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna, tantangan utama implementasi B50 adalah harga dan subsidi yang akan terus meroket.
Membengkaknya bea subsidi itu tak lepas dari penggunaan Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang harganya lebih mahal dibandingkan solar, untuk memproduksi B50. FAME merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak sawit dengan metanol.
"BPDPKS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit] akan semakin kewalahan untuk menalangi harga biodiesel yang semakin tinggi," ucap Putra kepada Bisnis, Kamis (17/7/2025).
Putra mengatakan, tingginya harga B50 juga bakal berdampak pada industri-industri penggunanya, seperti industri pertambangan.
Baca Juga
Asal tahu saja, insentif untuk implementasi B40 saja diprediksi mencapai Rp35,5 triliun. Insentif ini berlaku hanya untuk sektor public service obligation atau PSO atau sebagian dari alokasi biodiesel yang ditetapkan pada tahun ini.
Adapun, alokasi biodiesel untuk program mandatori B40 pada tahun ini mencapai 15,6 juta kiloliter (kl). Dari angka tersebut, sebanyak B40 untuk PSO mencapai 7,55 juta kl.
Lebih lanjut, Putra menilai anggaran subsidi biodiesel itu lebih baik digunakan untuk mendukung transportasi umum.
"Anggaran Rp30 triliun sampai Rp40 triliun subsidi biodiesel lebih baik sebagian digunakan mendorong perubahan struktural sektor transportasi, bukan sekadar dibakar, misal kendaraan listrik, toh akan mengurangi BBM impor," kata Putra.
Di satu sisi, kata Putra, tingginya kebutuhan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk B50 berpotensi mengurangi jatah ekspor. Dengan begitu, pemasukan BPDPKS bisa berkurang.
"Berkurangnya volume ekspor CPO juga berarti menurunkan pemasukan BPDPKS yang bisa jadi perlu lagi-perlu ditambal APBN," katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan, hingga saat ini, pihaknya masih menghitung kebutuhan dan volume FAME untuk memproduksi B50.
Dia menyebut, pihaknya belum menentukan berapa porsi FAME yang akan digunakan dalam B50. Dia mengatakan, komposisi FAME itu masih menjadi perdebatan.
Menurutnya, B50 itu bisa terdiri atas 40% FAME dan 10% hydrotreated vegetable oil (HVO) atau full 50% FAME. Oleh karena itu, implementasi B50 belum tentu terjadi pada 2026.
"Lalu apakah 2026 kita mulai dengan B50? Itu belum kita tentukan. Jadi kita harus lihat lagi B50 butuh [FAME]-nya berapa?" ucap Eniya dalam acara Seminar Peluang dan Tantangan Industri Bioenergi Menyongsong Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Eniya menjabarkan, jika diasumsikan B50 akan terdiri atas 50% FAME, maka kebutuhan FAME itu mencapai sekitar 20 juta ton atau tambahan alokasi CPO ke biodiesel sekitar 2 juta ton. Angka itu naik sebesar 5 juta ton dari kebutuhan FAME untuk produksi B40 yang sebesar 15 juta ton.
Di sisi lain, Eniya mengatakan, Indonesia membutuhkan lima pabrik biodiesel baru untuk mengimplementasikan B50 pada tahun depan. Dia mengatakan, dari lima pabrik baru yang ditargetkan, saat ini sudah ada tiga pabrik yang sedang dibangun.
"Kita perlu lima [pabrik baru] dengan kapasitas besar, yang kalau ukur-ukur kapasitasnya 1 juta kl kita perlu lima gitu," ucap Eniya.
Kendati demikian, Eniya tak memerinci tiga pabrik yang sedang dibangun itu. Namun, menurutnya, pabrik biodiesel baru itu diperlukan di daerah timur Indonesia.