Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Stabilitas Politik Goyah, Posisi Jepang Melemah Jelang Tenggat Tarif AS

Koalisi Jepang kalah di majelis tinggi, melemahkan PM Ishiba saat negosiasi tarif AS mendekat. Oposisi naik dengan isu pajak dan inflasi.
Kantor pusat Bank of Japan (BOJ) di Tokyo, Jepang pada Jumat (24/1/2024). / Bloomberg-Akio Kon
Kantor pusat Bank of Japan (BOJ) di Tokyo, Jepang pada Jumat (24/1/2024). / Bloomberg-Akio Kon
Ringkasan Berita
  • Koalisi yang berkuasa di Jepang kehilangan kendali atas majelis tinggi, melemahkan posisi Perdana Menteri Shigeru Ishiba menjelang negosiasi tarif penting dengan Amerika Serikat.
  • Kekalahan ini menambah tekanan politik terhadap Ishiba, yang sebelumnya juga kehilangan mayoritas di majelis rendah, membuat pemerintahannya rawan mosi tidak percaya.
  • Partai oposisi berhasil menarik simpati pemilih dengan agenda pemotongan pajak dan peningkatan belanja sosial, di tengah meningkatnya harga kebutuhan dan kekecewaan terhadap respons pemerintah.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi yang berkuasa di Jepang dipastikan kehilangan kendali atas majelis tinggi dalam pemilu yang digelar Minggu (20/7/2025). Hasil tersebut semakin melemahkan cengkeraman Perdana Menteri Shigeru Ishiba atas kekuasaan, di tengah tenggat waktu negosiasi tarif dengan Amerika Serikat yang semakin dekat.

Meski pemilu ini tidak secara langsung menentukan keberlangsungan pemerintahan Ishiba, kekalahan ini menambah tekanan politik terhadap pemimpin yang sebelumnya juga kehilangan mayoritas di majelis rendah pada Oktober lalu.

Melansir Reuters pada Senin (21/7/2025), Partai Liberal Demokrat (LDP) yang dipimpin Ishiba bersama mitra koalisinya, Komeito, dipastikan gagal mengamankan 50 kursi yang dibutuhkan untuk menguasai 248 kursi di majelis tinggi. Pemilu kali ini mempertaruhkan setengah dari jumlah kursi tersebut.

Menurut NHK, hingga Senin pagi (21/7/2025), masih ada enam kursi yang belum diumumkan, 

Kekalahan ini menambah daftar keterpurukan koalisi Ishiba, menyusul hasil buruk dalam pemilu majelis rendah tahun lalu—terburuk dalam 15 tahun terakhir—yang membuat pemerintahannya rawan mosi tidak percaya dan desakan internal untuk pergantian kepemimpinan.

Berbicara kepada NHK pada Minggu malam usai jajak pendapat keluar, Ishiba menyatakan dirinya menerima dengan penuh kesungguhan hasil yang keras tersebut.

“Kami sedang terlibat dalam negosiasi tarif yang sangat krusial dengan Amerika Serikat... Kami tidak boleh menggagalkan proses ini. Sudah semestinya seluruh perhatian dan energi kami curahkan demi kepentingan nasional,” ujarnya kemudian kepada TV Tokyo.

Ishiba juga menegaskan dirinya berniat untuk tetap menjabat sebagai perdana menteri dan ketua partai.

Jepang, ekonomi terbesar keempat di dunia, menghadapi tenggat waktu hingga 1 Agustus untuk mencapai kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat, atau berisiko dikenai tarif tinggi di pasar ekspor utamanya.

Partai oposisi utama, Constitutional Democratic Party, diperkirakan akan finis di posisi kedua berdasarkan hasil penghitungan suara sementara.

Sementara itu, partai sayap kanan Sanseito, yang dikenal melalui kanal YouTube beberapa tahun lalu, mulai masuk ke kancah politik arus utama dengan kampanye “Japanese First” dan retorika soal “invasi diam-diam” oleh warga asing. Partai ini diperkirakan menambah setidaknya 13 kursi dari sebelumnya hanya memiliki satu kursi.

Isu Pajak dan Inflasi Jadi Penentu

Partai oposisi yang mengusung agenda pemotongan pajak dan peningkatan belanja sosial berhasil menarik simpati pemilih, seiring meningkatnya harga-harga kebutuhan, terutama lonjakan harga beras, yang memicu kekecewaan atas respons pemerintah.

“Dalam pemilu ini, LDP sebagian besar hanya bermain defensif dan berada di sisi yang salah dalam isu utama pemilih,” ujar David Boling, Direktur di lembaga konsultan Eurasia Group.

“Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar rumah tangga menginginkan pemotongan pajak konsumsi untuk mengatasi inflasi, tetapi LDP menolaknya. Oposisi memanfaatkan isu itu dan terus menekankannya.”

LDP selama ini mendorong disiplin fiskal, dengan mempertimbangkan sensitivitas pasar obligasi pemerintah, karena investor khawatir atas kemampuan Jepang membiayai utang terbesar di dunia. Kini, jika LDP harus berkompromi dengan oposisi demi meloloskan kebijakan, hal itu berpotensi memperbesar ketidakpastian di pasar, menurut analis.

Yu Uchiyama, profesor ilmu politik di Universitas Tokyo menuturkan, partai yang berkuasa harus berkompromi agar bisa mendapat dukungan dari oposisi. Hal itu akan membuat anggaran terus membengkak. 

“Penilaian investor asing terhadap ekonomi Jepang juga akan semakin ketat.”

Sanseito, yang muncul selama pandemi Covid-19 dengan menyebarkan teori konspirasi tentang vaksinasi dan elit global, termasuk di antara partai yang mendorong ekspansi fiskal. Namun perhatian publik lebih tertuju pada sikap keras mereka terhadap isu imigrasi, yang menyeret retorika pinggiran ke ranah politik utama.

Masih perlu dilihat apakah Sanseito dapat menapaki jalur serupa dengan partai kanan jauh lain seperti AfD di Jerman dan Reform UK di Inggris.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro