Bisnis.com, JAKARTA — Center for Strategic and International Studies alias CSIS memberi dua catatan kritis atas rincian kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang dirilis dalam pernyataan bersama pada Rabu (23/7/2025).
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menilai bahwa perjanjian tersebut menyimpan risiko strategis yang perlu diantisipasi, terutama terkait definisi asal barang (rules of origin) dan potensi perlakuan khusus terhadap perusahaan Amerika Serikat (AS) dalam penghapusan hambatan non-tarif.
Riandy menjelaskan salah satu isu utama menyangkut bagaimana pemerintah AS akan mendefinisikan asal barang yang layak mendapatkan perlakuan tarif preferensial. Menurutnya, ketentuan rules of origin (RoO) krusial untuk mencegah produk negara nonmitra—seperti China—menikmati fasilitas tarif rendah melalui praktik transshipment.
“Pertanyaannya adalah, seberapa besar konten asing yang masih dibolehkan agar suatu barang tetap dianggap berasal dari Indonesia? Apakah maksimal 20%, 30%? Saat ini umumnya boleh hingga 60%, tapi saya menduga AS akan mendorong ambang batas yang lebih rendah,” ujar Riandy kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).
Dia menjelaskan bahwa komponen asal China masih mendominasi struktur impor bahan baku Indonesia, yakni sekitar 25% dari total keseluruhan. Jika AS menilai produk buatan Indonesia masih mengandung terlalu banyak komponen asal China maka bukan tidak mungkin produk RI ikut terdampak tarif tinggi yang ditujukan untuk China, yang saat ini berkisar 50%.
Selain RoO, Riandy juga menyoroti potensi inkonsistensi dalam komitmen Indonesia menghapus hambatan perdagangan non-tarif (non-tariff measures/NTM) secara eksklusif untuk AS.
Baca Juga
Menurutnya, selama ini perlakuan preferensial hanya diberikan kepada mitra dagang melalui pemotongan tarif dalam kerangka perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) yang dibuktikan dengan surat keterangan asal barang. Sebaliknya, perlakuan khusus untuk NTM seperti Tingkat Komponen Dalam Neger (TKDN), persetujuan impor pertanian, dan pangan akan jauh lebih sulit diimplementasikan secara selektif.
“[Pertanyaan] apa instrumen yang membedakan perlakuan untuk perusahaan AS dan bukan AS? Apakah status hukum kepemilikannya, sumber investasi, atau apa? Ini ya belum jelas dan saya rasa itu hampir tidak mungkin dilakukan,” jelas Riandy.
Risikonya, sambung Riandy, jika ternyata eksekusinya sulit dan Indonesia tidak bisa memenuhi kesepakatan awal maka potensi tekanan atau ancaman kebijakan dagang dari AS bisa muncul kembali.
Dia berpendapat, lebih masuk akal apabila pemerintah memilih melonggarkan hambatan non-tarif secara bertahap bagi semua mitra dagang, bukan hanya AS. Hanya saja, strategi ini menuntut komitmen reformasi struktural yang lebih besar dan menghadapi tantangan ekonomi-politik domestik yang tidak ringan.
Pernyataan Bersama AS-RI
Mengutip laman resmi Gedung Putih pada Rabu (23/7/2025), perjanjian perdagangan AS-Indonesia ini disebut akan memperkuat hubungan ekonomi jangka panjang antara kedua negara, yang sebelumnya telah dibangun melalui Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (Trade and Investment Framework Agreement/TIFA) yang ditandatangani pada 16 Juli 1996.
Dalam kesepakatan dagang terbaru tersebut, Indonesia akan menghapus sekitar 99% hambatan tarif terhadap berbagai produk industri, pangan, dan pertanian asal AS. Sementara itu, AS akan menurunkan tarif resiprokal atas barang asal Indonesia menjadi 19%, sesuai Perintah Eksekutif 14257 (2 April 2025).
"AS juga dapat menurunkan tarif lebih lanjut untuk komoditas yang tidak tersedia atau tidak diproduksi di dalam negeri AS," jelas pernyataan tersebut.
Selain itu, kedua negara juga berupaya untuk menghapus persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bagi produk AS, mengakui standar kendaraan dan emisi AS, serta menerima sertifikat FDA dan izin pemasaran bagi alat kesehatan dan farmasi. Indonesia juga akan menghapus inspeksi pra‑pengapalan dan perizinan impor atas barang-barang AS.
Kemudian, semua produk pangan dan pertanian AS dibebaskan dari lisensi impor dan aturan keseimbangan komoditas. Indonesia akan mengakui indikasi geografis dan mengizinkan otorisasi pemasaran untuk daging, unggas, dan produk susu AS.
"Pemerintah Indonesia akan menghapus batasan ekspor mineral kritis dan komoditas industri ke AS," lanjutnya.
Gedung Putih juga mengumumkan rencana pembelian bersama antara perusahaan AS dan Indonesia meliputi pesawat senilai US$3,2 miliar; Produk pertanian seperti kedelai, bungkil, gandum, dan kapas senilai US$4,5 miliar; terakhir, produk energi (LPG, minyak mentah, bensin) senilai US$15 miliar.
Kemudian, AS dan Indonesia akan memperkuat ketahanan rantai pasokan dan inovasi, serta bekerja sama dalam pengawasan ekspor, keamanan investasi, dan penanganan penghindaran bea (duty evasion).
Selanjutnya, kedua negara akan menyepakati aturan asal barang (rules of origin) yang memudahkan pemanfaatan manfaat kesepakatan, dan memastikan dampak langsung bagi AS dan Indonesia.
Kemudian, Indonesia akan menjamin hak transfer data pribadi ke AS, menghapus tarif serta deklarasi impor untuk produk digital (unggahan, perangkat lunak), mendukung moratorium bea masuk elektronik WTO, dan menerapkan peraturan layanan berdasarkan standar WTO.
Indonesia juga akan bergabung dalam Global Forum on Steel Excess Capacity dan mengambil langkah untuk menangani kelebihan kapasitas baja global.
Indonesia juga berkomitmen untuk melarang impor barang hasil kerja paksa, merevisi undang‑undang agar menjamin kebebasan berserikat dan berunding, serta memperkuat penegakan hukum ketenagakerjaan.
Gedung Putih melanjutkan, Indonesia sepakat memberlakukan perlindungan lingkungan tinggi, meningkatkan tata kelola kehutanan, menghindari perdagangan kayu ilegal, menerapkan subsidi perikanan WTO, serta memberantas penangkapan dan perdagangan satwa liar ilegal.