Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Minta Pemerintah Kontrol Produksi Nikel Usai Harga Anjlok

APNI mendesak pemerintah mengendalikan produksi nikel akibat oversupply yang berimbas pada anjloknya harga komoditas tersebut.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengingatkan pemerintah untuk mengendalikan produksi nikel. Hal ini menyusul kondisi oversupply yang menekan harga dan merugikan pelaku industri hulu.

Laporan terbaru dari lembaga internasional mengungkap bahwa lebih dari 50% pasokan nikel dunia saat ini berasal dari Indonesia. Namun, permintaan global, terutama dari sektor baterai dan stainless steel, belum mampu menyerap lonjakan pasokan.

Hal ini menyebabkan harga nikel global terus melemah, margin menyempit, dan tekanan terhadap pelaku IUP semakin berat.

"Kita tidak bisa hanya fokus menambah kapasitas tanpa memperhatikan permintaan. Ini saatnya pemerintah melakukan kontrol produksi dan menyesuaikan arah hilirisasi," ujar Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey melalui keterangan resmi dikutip Jumat (1/8/2025).

Berdasarkan catatan APNI harga nikel mengalami penurunan pada periode kedua Juli 2025. Tercatat, harga nikel kadar 1,8% dengan Moisture Content (MC) 30% yakni mencapai US$35,73 per wet metric ton (WMT), turun tipis dari periode sebelumnya yang sebesar US$35,73 per WMT.

Sementara itu, penurunan harga tercatat di hampir seluruh kadar nikel. Untuk kadar 1,8% dengan MC 35%, harga turun menjadi US$33,18 per WMT, dibanding sebelumnya US$33,18 per WMT.

Di sisi lain, produksi nikel pig iron (NPI) Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara feronikel (FENI) tetap kecil porsinya. Menurut Meidy, ini menandakan dominasi strategi volume tanpa evaluasi daya serap pasar.

Selain pengendalian produksi, APNI juga mendorong penerapan standar ESG nasional sebagai bentuk komitmen terhadap praktik pertambangan berkelanjutan. Meidy menyebut, langkah ini juga penting untuk mempertahankan akses pasar ekspor, terutama ke negara-negara yang menuntut transparansi lingkungan dan sosial.

Lebih lanjut, Meidy pun merekomendasikan pemerintah untuk moratorium ekspansi smelter baru hingga keseimbangan tercapai. Dia juga meminta agar kebijakan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tetap 3 tahun sekali.

Kemudian, APNI juga merekomendasikan pemerintah untuk merumuskan ulang harga mineral acuan (HMA) nikel agar mencerminkan real cost dan market. Lalum, menyusun peta jalan hilirisasi berbasis permintaan global, pembentukan standar ESG nasional, dan diversifikasi pasar ekspor dan skema insentif untuk proyek berkualitas tinggi.

"Tanpa intervensi kebijakan, Indonesia berisiko memasuki siklus boom-bust berkepanjangan. APNI mendorong kolaborasi bersama untuk menata ulang arah industri nikel nasional agar lebih sehat, kompetitif, dan berkelanjutan," kata Meidy.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro