Bisnis.com, JAKARTA— Keraguan mewarnai investor soal pandangan masa depan Carrefour, pemilik jaringan hypermarket setelah JP Morgan menurunkan estimasinya.
Dikutip dari Bloomberg, Sabtu (2/8/2025), pergerakan harga saham Carrefour SA menyentuh level terendah dalam 32 tahun pada Juni setelah JP Morgan Chase & Co menempatkan pandangan negatif dan menurunkan estimasinya.
“Kami begitu jauh dari asumsi pembalikan arah dengan tren yang kami lihat dan konteks rekam jejak perusahaan yang rancu,” kata analis JP Morgan Borja Olcese dalam catatannya setelah pengumuman kinerja keuangan Carrefour.
Kalangan pengamat juga bertaruh bahwa Chairman dan Chief Executive Officer Carrefour Alexandre Bompard mampu membawa dampak positif terhadap Carrefour. Berdasarkan data S&P Global Market Intelligence, Carrefour merupakan jaringan penjual bahan sembako yang paling dihindari di Eropa dengan porsi utang 6% terhadap saham mengambang pada 24 Juli 2025.
Kinerja harga sahamnya pun masih turun 10% sepanjang tahun ini dan dalam dua dekade, Carrefour merupakan satu-satunya penjual bahan konsumsi Eropa yang memberikan return negatif.
Di tengah kondisi pelik ini, Bompard memberikan jawaban kepada pemegang saham, termasuk Keluarga Moulin, kalangan miliarder dan keturunan pebisnis Brasil, Abilio Diniz. Namun, para pemegang saham mempertanyakan kemampuan Bompard.
Baca Juga
Kevin Romanteau, pendiri firma investasi Whitelight Capital memasang short position. Short position artinya memanfaatkan peluang saat harga saham diproyeksi melemah. Namun, kali ini, dia akan mengubah sikapnya.
“Kami membutuhkan CEO yang bisa melakukan perubahan haluan yang bisa begitu fokus menaikkan profitabilitas supermarket dan melihat aset tiap hypermarket,” katanya.
Di sisi lain, valuasi pasar Carrefour turun ke 9 miliar euro yang mana lebih rendah dari rencana pengambilalihan oleh Promodes pada 1999 ketika di masa puncak ekspansi di deretan peritel terbesar dunia. Carrefour sebelumnya memiliki valuasi setara dengan LVMH pada 2009, tetapi konglomerasi barang mewah itu kini bernilai 231 miliar euro.
Kondisi yang dihadapi Carrefour memang tak mudah, terutama di Prancis. Kepala Ekuitas Eropa di AXA IM Gilles Guibout mengatakan bahwa Carrefour bertarung dengan pemain independen yang memainkan permainan yang begitu kontras sehingga bisa bertahan dengan menciptakan margin kecil.
Di sisi lain, pemerintah Prancis memastikan bahwa harga tetap rendah bagi konsumen sambil menekan peritel untuk membayar lebih kepada petani. Sementara itu, penggunaan kanal digital begitu lamban di tangan Carrefour sehingga sulit untuk menekan biaya operasional dan bersaing dengan pemimpin pasar, Leclerc, ujar analis.
Terpisah, William Woods, seorang analis di Bernstein mengatakan bahwa perabotan rumah dan barang elektronik Carrefour berkontribusi 10%, sedangkan rivalnya, Leclerc dengan 5% dan supermarket Inggris, J Sainsbury Plc dengan 3%.
“Mereka perlu memperbaiki inti usaha sebagai peritel makanan dalam hal harga, format dan produk,” katanya.
Perusahaan juga mengakuisisi 55 hypermarket sehingga membawa kekhawatiran terhadap strategi Bompard. Ada pula sentimen gagal merger yang menjadi duri bagi posisi Bompard. Pemerintah Prancis memblok proposal pengambilalihan oleh peritel asal Kanada, Alimentation Couche-Tard Inc. pada 2021 senilai 20 miliar euro. Sementara itu, Auchan, rivalnya sempat ingin menyodorkan penawaran yang lebih besar tetapi tak pernah ada kesepakatan yang tercapai.
Mewakili perusahaan, Direktur Keuangan Carrefour Matthieu Malige mengatakan bahwa perusahaan masih menjalankan kajian strategis dan perusahaan belum memutuskan untuk menjual bisnis di Polandia. Analis menyebut langkah ini akan menghasilkan kerugian.
“Terdapat banyak kondisi, termasuk salah satunya di Polandia yang masih dikaji,” katanya dalam wawancara pekan ini.
Penjualan unit di Italia pun mengonfirmasi begitu sedikit nilai yang tersisa di pasar terbesar kelima Carrefour itu. Hal itu menunjukkan kondisi kontras kala ekspansi yang berjalan sejak 1970 dan menyentuh 40 negara ternyata meninggalkan banyak jejak kinerja yang melempem.
Beberapa tantangan yang dihadapi, yakni ketergantungan bisnis hypermarket yang cenderung menjual segalanya di satu tempat saat pembeli lebih memilih belanja daring, terutama untuk barang selain makanan.
Terlepas dari itu, Malige menyebut masih ada peluang bagi pemulihan konsumsi ritel setelah periode inflasi hiper berakhir dan kembalinya daya beli masyarakat. Dia menambahkan profitabilitas meningkat, pengiriman daring tumbuh kencang dan strategi perubahan hypermarket menjadi waralaba mulai menunjukkan hasil.