Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja pemerintah dalam menghimpun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama semester I/2025 menyalakan alarm kekhawatiran atas potensi tak tercapainya target yang telah dipasang pada UU APBN 2025.
Berdasarkan Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester Pertama Tahun Anggaran (TA) 2025, kinerja PNBP pada enam bulan pertama tahun ini masih menghadapi tekanan yang disebabkan oleh dinamika perekonomian global. Salah satunya terkait dengan fluktuasi harga komoditas terutama minyak bumi serta mineral dan batu bara (minerba).
Tidak hanya itu, setoran ke kas negara dalam bentuk dividen BUMN yang kini telah dialihkan ke Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara turut memengaruhi kinerja PNBP semester I/2025.
Peralihan itu sejalan dengan amanat pada UU No.1/2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.19/2003 tentang BUMN.
"Berdasarkan kondisi tersebut, secara keseluruhan PNBP pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp222.874,0 miliar atau 43,4% dari target APBN 2025, terkontraksi 22,7% dari periode yang sama tahun sebelumnya," demikian dikutip dari Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester Pertama Tahun Anggaran (TA) 2025, Rabu (13/8/2025).
Adapun dalam APBN 2025, pemerintah menargetkan bisa menghimpun PNBP sebagai pendapatan negara sebesar Rp513,6 triliun. Komponen PNBP terdiri dari pendapatan SDA, pendapatan dari kekayaan negara dipisahkan (KND), PNBP lainnya serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Baca Juga
Pada semester I/2025, realisasi PNBP dari pendapatan SDA Rp102,7 triliun atau 47,1% dari target APBN yakni Rp218 triliun. Torehan itu terkontraksi 10,3% dari semester I/2024 .
Bendahara Negara melihat bahwa penurunan itu terdampak oleh penurunan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP). Hal itu terlihat dari pendapatan SDA migas yang terealisasi pada semester I/2025 sebesar Rp47,2 triliun, atau baru 39% dari target Rp121 triliun. Capaiannya terkontraksi 15% dari semester I/2024 utamanya akibat turunnya ICP.
Kemenkeu mencatat bahwa rata-rata ICP hingga Mei 2025 mencapai US$70 per barel, atau lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yakni US$82 per barel.
"Penurunan rata-rata ICP ini merupakan dampak dari berlakunya tarif baru perdagangan Amerika Serikat dan penurunan proyeksi tingkat pertumbuhan perekonomian dunia tahun 2025 oleh OPEC dan IMF," terang Kemenkeu.
Adapun rata-rata lifting minyak bumi hingga Mei 2025 567,9 ribu barel per hari (rbph) atau lebih rendah dari periode yang sama di 2024 yakni 567,9 rbph. Sedangkan lifting gas bumi sampai dengan Mei 2025 987,5 ribu barel setara minyak per hari (rbsmph) atau lebih tinggi dari periode sama di 2024 yakni 936,6 rbsmph.
Apabila merujuk pada UU APBN 2025, lifting minyak pada Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2025 adalah 605 rpbh. Meski demikian, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut target lifting sudah tercapai hingga Juni 2025.
Saat ditemui di Istana Kepresidenan, Senin (11/8/2025), Bahlil menyebut rata-rata lifting minyak sudah mencapai 608 rbh setiap harinya per Juni 2025.
"Mudah-mudahan sampai akhir tahun ini target APBN pertama yang bisa kita realisasikan di lifting. Selama ini sejak 2008-2024 lifting itu enggak pernah sampai capai target APBN sekarang alhamdulillah sudah 608 ribu," ujarnya kepada wartawan usai bertemu Presiden Prabowo Subianto.
NONMIGAS TURUN, PENDAPATAN KND ANJLOK
Selain PNBP SDA migas, nonmigas tercatat ikut mengalami kontraksi sebesar 5,8% pada semester I/2025 apabila dibandingkan dengan semester I/2024. Pada enam bulan pertama 2205, PNBP SDA nonmigas tercatat sebesar Rp55,5 triliun, atau 57,2% dari target APBN yakni Rp97 triliun.
Pada enam bulan pertama 2024, kinerja PNBP SDA nonmigas sebesar Rp58,9 triliun.
Penurunan itu utamanya dipengaruhi oleh sektor pertambangan yang terkontraksi 5,4% dari periode sebelumnya. Pada semester I/2025, PNBP SDA nonmigas yang berhasil dihimpun dari pertambangan sebesar Rp51,5 triliun atau lebih dari 58% dari target APBN Rp87,5 triliun. Capainnya turun dari semester I/2024 yakni Rp54,4 triliun.
Menurut Kemenkeu, penurunan itu dipengaruhi oleh kinerja penerimaan royalti batu bara yang menurun sebagai dampak dari berkurangnya konsumsi dalam negeri sehingga berpengaruh pada volume produksi.
Kendati harga komoditas berdampak ke kinerja PNBP SDA, kontraksi terdalam yang dirasakan oleh pos pendapatan dari kekayaan negara dipisahkan (KND). Pos ini biasanya dikaitkan oleh dividen BUMN.
Berdasarkan pembukuan Kemenkeu, realisasi PNBP berbentuk pendapatan KND hanya sebesar Rp11,8 triliun atau 13,1% dari target Rp90 triliun pada APBN 2025. Realisasi itu anjlok atau terkontraksi hingga 80,3% apabila dibandingkan semester I/2024 yakni Rp60,1 triliun.
Hal ini bukan tanpa sebab, apalagi saat ini pengelolaan pendapatan dividen BUMN sudah dialihkan ke Danantara sesuai dengan amanat UU BUMN.
"Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh pengalihan pengelolaan pendapatan setoran dividen BUMN ke BPI Danantara," bunyi laporan tersebut.
Merujuk ke data Kemenkeu, kinerja dividen BUMN pada semester I/2021 hingga semester I/2024 merangkak naik. Dari awalnya penerimaan dividen BUMN pada enam bulan pertama 2021 hanya Rp15,9 triliun, kemudian terus merangkak naik hingga tertinggi pada semester I/2024 yakni Rp60,1 triliun.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan bahwa saat ini pemerintah masih fokus pada target awal Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meski ada potensi tak capai akibat sejumlah hal.
“PNBP targetnya sesuai dengan target [awal], kita upayakan kumpulkan terus,” ujarnya saat ditemui di kompleks Kementerian Keuangan, Jumat (16/5/2025).
AMANKAN KONTRIBUSI INTERIM
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa pemerintah perlu mengejar ketertinggalan realisasi PNBP semester I/2025 dengan mengamankan kontribusi interim dari Danantara.
Sejalan dengan itu, pemerintah dinilai perlu secepatnya merevisi aturan agar penerimaan dari kekayaan negara yang dipisahkan atau KND tetap tercatat sebagai PNBP.
"Sumber cepat cair seperti lelang spektrum 1,4 GHz, optimalisasi royalti dan penalti di sektor ESDM, percepatan lelang WKP panas bumi, dan WIUP/WK migas harus dipacu," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/8/2025).
Di sisi lain, PNBP SDA nonmigas lainnya seperti dari sektor kehutanan maupun perikanan, BLU, serta pemanfaatan aset idle juga perlu dimaksimalkan. Pungutan karbon juga dinilai perlu mulai diaktifkan untuk basis penerimaan baru.
Pada saat yang sama, lanjut Yusuf, target PNBP harus dikomunikasikan ulang secara transparan agar pasar memahami ini sebagai transisi.
"Sembari memastikan tata kelola Danantara kredibel dengan kebijakan payout yang jelas. Strategi ini memadukan jembatan fiskal, optimalisasi penerimaan jangka pendek, dan fondasi sumber baru untuk menjaga ruang fiskal tetap aman," terangnya.
Kendati demikian, Yusuf belum melakukan penghitungan terperinci ihwal seberapa besar kontribusi interim dari Danantara bakal menambal bolong penerimaan dari dividen BUMN. Apalagi, pada APBN 2025, target PNBP dari penerimaan kekayaan negara dipisahkan yang berasal dari dividen pelat merah sebesar Rp90 triliun. Per semester I/2025, realisasi penerimaannya baru mencapai Rp11,8 triliun.
Yusuf lalu menjelaskan, apabila merujuk pada pernyataan Presiden Prabowo bahwa senilai Rp200 triliun dialokasikan untuk pengelolaan investasi Danantara, maka dividen interim pembayaran sementara sebelum dividen final umumnya berkisar 20–40% dari total dividen tahunan.
"Dengan asumsi alokasi Rp200 triliun, dividen interim berpotensi memberikan modal cepat sebesar Rp40 triliun (20%) hingga Rp80 triliun (40%)," terangnya.
Akan tetapi, timpal Yusuf, perhitungan itu masih bersifat estimasi dan sangat bergantung pada kinerja BUMN. Faktor lainnya yang bakal memengaruhi yakni payout ratio (misalnya 70–80% di sektor tambang), dengan risiko penurunan jika laba bersih mengalami kontraksi.