Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Gelas/Kaca Indonesia (APGI) mengeluhkan kondisi pasokan gas yang tidak stabil, terlebih untuk kebijakan gas murah industri atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Alhasil, pengusaha harus menanggung beban harga gas regasifikasi yang lebih mahal.
Ketua Umum APGI Henry T. Sutanto mengatakan saat ini pemasok gas mematok alokasi gas industri tertentu (AGIT) untuk program HGBT sebanyak 60% dan sisanya menggunakan gas regasifikasi dari Liquefied Natural Gas (LNG) 40%.
“Kita melihat pemerintah tidak serius mendukung industri. Tanpa kepastian supply gas dan artinya harga gas maka sangat sulit untuk menghitung HPP [harga pokok penjualan],” kata Henry kepada Bisnis, Kamis (14/8/2025).
Adapun, harga gas murah industri dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu disebutkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7 per MMBTU (million british thermal unit) dan untuk bahan baku sebesar US$6,5 per MMBTU.
Sementara itu, untuk harga gas lng yang melalui proses regasifikasi adalah sebesar US$14,88 per MMBTU. Hal ini membuat ongkos produksi membengkak.
“Kami khawatir industri akan melambatkan atau mengurangi produksi atau berproduksi sebatas dengan gas yang diberikan sehingga utilisasi produksi akan berkurang,” jelasnya.
Baca Juga
Terkait opsi impor LNG yang belakangan menjadi opsi yang diusulkan, pihaknya hanya berharap pasokan gas dapat terjaga dengan sumber energi didapatkan dari manapun.
Pasalnya, saat ini Henry menilai harga gas yang dipatok pemasok gas sangat tinggi dan memberatkan industri pengguna. Meskipun, dia memahami terdapat pengurangan pasokan gas dari hulu.
“Akan sangat sulit untuk mengharapkan industri bisa kompetitif dengan negara tetangga dengan harga gas yang jauh lebih tinggi. Industri mengharapkan harga gas yang lebih kompetitif,” pungkasnya.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memberi sinyal adanya defisit pasokan gas yang dikelola oleh perusahaan. Hal ini seiring dengan penurunan alami produksi gas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), keandalan infrastruktur, hingga aspek harga.
Corporate Secretary PGN Fajriyah Usman menjelaskan, ketika ada natural declining atau penurunan produksi secara alami, pasokan gas yang dikelola emiten pelat merah berkode saham PGAS itu pun praktis terganggu. Selain itu, terganggunya operasional di hulu pun turut mengganggu pasokan.
"Apabila misalnya dari sisi hulu terjadi penurunan natural decline gitu ya, terus kemudian juga ada rencana-rencana operasional di hulu juga yang terganggu, pastinya itu akan juga memengaruhi dari pasokan gas yang ada," tuturnya di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Fajriyah menegaskan bahwa PGN bukanlah perusahaan yang bergerak di sisi hulu yang bisa memproduksi gas sehingga pasokan gas anak usaha PT Pertamina (Persero) itu bakal terpengaruh jika mitra yang ada di sisi hulu mengalami natural declining.