Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung dijadwalkan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk pertama kali di Gedung Putih pada Senin (25/8/2025) waktu setempat. Pertemuan tersebut dinilai akan menjadi ujian terbesar Lee sejak menjabat tiga bulan lalu.
Lee datang ke Washington usai menandatangani kesepakatan dagang yang membuat pemerintahan Trump mengenakan tarif 15% atas impor mobil, ponsel, dan mesin dari Korea Selatan. Isu yang berpotensi memicu gesekan dalam pertemuan mencakup detail perjanjian dagang hingga penanganan ancaman keamanan di Asia.
Dalam penerbangannya ke Washington, Lee menegaskan komitmennya untuk melindungi kepentingan rakyat Korea Selatan. “Bahkan sekarang, AS menilai negosiasi menguntungkan bagi Korea Selatan. Tapi kami tidak berpikir bijak untuk begitu saja mengubah perjanjian yang sudah disepakati,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Senin (25/8/2025).
Salah satu sumber ketegangan adalah dana investasi Korea Selatan senilai US$350 miliar untuk proyek di AS. Saat mengumumkan kesepakatan dagang pada 31 Juli 2025, Trump menyatakan investasi itu akan diarahkan langsung oleh presiden, dengan 90% keuntungan kembali ke AS.
Otoritas Korea Selatan masih minim memberi detail, tetapi menyebut skema dana tersebut sebagian besar berbentuk jaminan pinjaman, dengan ekuitas langsung diperkirakan di bawah 5%.
Dari total komitmen, US$150 miliar dialokasikan untuk galangan kapal guna menghidupkan kembali industri perkapalan AS. Lee dijadwalkan mengunjungi galangan kapal di Philadelphia untuk menekankan komitmen itu.
Baca Juga
Lee juga didampingi pemimpin konglomerat besar Korea Selatan, seperti Samsung Electronics, SK Hynix, LG Energy Solution, dan Hyundai Motor. Media Korsel melaporkan perusahaan-perusahaan itu berencana mengumumkan investasi hingga US$150 miliar di AS saat KTT.
Tarif Pertanian, Otomotif, dan Semikonduktor
Pertanian menjadi isu sensitif. Trump menyatakan pasar Korea Selatan akan sepenuhnya terbuka untuk produk pertanian AS, termasuk beras dan daging sapi, meski Seoul sebelumnya menegaskan kedua komoditas itu dikecualikan dari konsesi karena sensitif secara politik. Perbedaan tafsir ini berisiko memicu polemik, seperti yang pernah terjadi dalam kesepakatan Washington dengan China dan Inggris.
Industri otomotif dan semikonduktor Korsel, yang menopang lebih dari 30% ekspor, ikut terdampak tarif AS. Korea Selatan diperkirakan akan mendorong penurunan tarif pada komponen mobil dan chip, meski belum jelas apakah Lee bersedia mengorbankan sektor pertanian—basis dukungan politik partainya—demi keringanan tarif ekspor utama.
Trump juga berulang kali menekan sekutu untuk meningkatkan belanja pertahanan. Korea Selatan, yang menampung 28.500 pasukan AS sebagai penangkal Korea Utara, disebut Trump sebagai mesin uang. Tahun ini Seoul merencanakan belanja pertahanan 2,32% dari PDB, dan kedua negara tengah membahas perluasan kontribusi biaya pertahanan.
Meski banyak potensi gesekan, isu Korea Utara bisa jadi titik temu. Trump dan Kim Jong Un pernah bertemu tiga kali pada masa jabatan pertama Trump, namun gagal membendung program nuklir Pyongyang. Kini Korea Utara justru memperkuat hubungan dengan Rusia dan mendukung perang di Ukraina.
Pekan lalu Kim menyerukan percepatan ekspansi nuklir di tengah latihan militer gabungan AS-Korsel yang dipandang Pyongyang sebagai ancaman perang.
“Isu Korea Utara pasti masuk agenda, tapi kecil kemungkinan ada terobosan kecuali kedua presiden sepakat menghentikan latihan gabungan dan meninggalkan denuklirisasi sebagai tujuan kebijakan,” kata Rachel Minyoung Lee, peneliti senior Stimson Center.