BISNIS.COM, JAKARTA—Pemerintah disarankan membuat keputusan cepat soal harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebagai respons penurunan peringkat Indonesia oleh lembaga pemeringkat Standard & Poor (S&P).
Telisa Aulia Falianty, pakar ekonomi EC-Think, mengatakan masalah BBM telah memicu efek berantai pada tekanan neraca perdagangan Indonesia, pembengkakan defisit APBN, dan dorongan laju inflasi.
“Masalah BBM ini politis sekali. Lembaga pemeringkat internasional seperti S&P juga mempertimbangkan stabilitas politik, selain pengelolaan ekonominya,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (3/5/2013).
Telisa menjelaskan tekanan terbesar dari defisit neraca perdagangan berasal dari tingginya impor migas yang sebagian besar berupa impor hasil minyak. Sementara itu, imbuhnya, pembengkakan anggaran subsidi BBM juga turut melebarkan defisit APBN 2013, di tengah adanya risiko penurunan penerimaan pajak.
Adapun belum pastinya keputusan kebijakan harga BBM bersubsidi dari pemerintah ikut menyebabkan munculnya ekspektasi inflasi di tengah laju inflasi yang sedang tinggi. “S&P mungkin tidak hanya memperhatikan masalah BBM, tetapi semua hal itu juga jadi pertimbangan,” katanya.
Neraca perdagangan pada kuartal I/2013, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), masih mencatatkan angka negatif dengan defisit sebesar US$67,5 juta. Neraca perdagangan nonmigas sebenarnya mencatatkan surplus pada periode itu, tetapi tidak dapat mengimbangi defisit neraca perdagangan migas.
Neraca perdagangan migas tercatat surplus sebesar US$3.124,8 juta pada kuartal I/2013, tetapi neraca perdagangan migas tercatat defisit US$3.192,3 juta pada periode yang sama.
Adapun, defisit anggaran APBN 2013 ditargetkan sebesar 1,65% terhadap PDB. Namun, pemerintah memproyeksikan pelebaran defisit anggaran mencapai 3,83% terhadap PDB jika tidak dilakukan upaya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.
Terkait inflasi, sepanjang Januari sampai April 2013 [year-to-date], laju inflasi tercatat mencapai 2,32%. Laju tersebut lebih tinggi setidaknya sejak 2009, yang berturut-turut sebesar 0,05% (2009), 1,15% (2010), 0,39% (2011), dan 1,09% (2012).
Telisa mengakui kenaikan harga BBM memang akan memacu laju inflasi ke level yang lebih tinggi, tetapi upaya tersebut mampu menyelamatkan kondisi fiskal dalam negeri.
Berkaca pada pengalaman, pemerintah pernah melakukan kenaikan harga BBM pada Mei 2008. Pada saat itu, laju inflasi bulanannya [month-to-month] memang melejit ke level 1,41%, sedangkan laju inflasi tahun kalender [Januari—Mei 2008] bertengger tinggi di level 5,47%. Padahal, biasanya laju inflasi Mei secara historis berkisar antara 0—0,5%. (mfm)