Bisnis.com, JAKARTA—Asosiasi petani tembakau mendesak beberapa kementerian untuk meninjau dan mempertimbangkan ulang usulan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang saat ini telah berada di tangan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ya tolonglah Kementerian Kesehatan dan kementerian lain yang mendukung aksesi FCTC untuk berfikir lebih jernih. Kita kan berbeda dengan Singapura dan Australia yang tidak punya petani tembakau, tidak punya industri rokok,” ujar Budidoyo, Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), kepada Bisnis, Senin (28/4/2014).
Tercatat, pada tahun lalu luas areal tanam tembakau di Indonesia mencapai 269.382 ha, turun tipis dibandingkan dengan tahun sebelumnya seluas 269.435 ha, sementara realisasi produksi justru naik dari 263.677 ton pada 2012 menjadi 268.423 ton pada 2013.
Budidoyo memaparkan, asosiasi petani secara tegas menolak serta akan terus berupaya dan melawan rencana aksesi tersebut, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A).
Di sisi lain, dia menuturkan bahwa pihaknya mengapresiasi sikap kementerian terkait petani dan industri yang juga menolak usulan tersebut, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Perindustrian.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian menyatakan akan terus menolak aksesi FCTC, mengingat dampak yang sangat merugikan terhadap petani dan belum ditemukannya tanaman pengganti tembakau.
“Presiden SBY tidak akan meneken aksesi FCTC apabila semua kementerian terkait tidak sepakat. Dari rapat Dari rapat di Kemenko Kesra pekan lalu, sedikitnya ada 3 kementerian yang tidak sepakat dengan aksesi itu,” ujar Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir.
Dari dokumen yang didapatkan Bisnis, ada 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat baik on-farm dan off-farm dalam mata rantai pengusahaan tembakau.
Rinciannya, 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 0,6 juta tenaga kerja di pabrik olahan tembakau, 1 juta pengecer atau pedagang asongan dan 1 juta tenaga kerja percetakan dan periklanan.
Di sisi lain, paparnya, aksesi FCTC justru akan menimbulkan kemungkinan industri rokok cenderung melakukan importasi tembakau, karena kurangnya suplai dari petani lokal.
Padahal, kata Gamal, penerimaan negara dari cukai rokok selalu meningkat, yaitu sekitar Rp80 triliun pada 2012 menjadi Rp95 triliun pada tahun lalu.
Kementan melansir bahwa pada 2011 penerimaan negara dari ekspor tembakau dan olahan tembakau mencapai 38.905 ton dengan nilai US$508,8 juta, yang kemudian naik 17% atau setara US$595,61 juta tahun
berikutnya, meskipun volume turun menjadi 37.110 ton.
Gamal menuturkan bahwa sungguh tidak bijak apabila usulan aksesi tersebut terburu-buru dilancarkan. “Ya karena ini kan demi kepentingan petani kita. Jangan dilarang atau malah mengurangi gairah menanam dong, apalagi tembakau ini juga potensi ekspor,” ujar Gamal.