Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perdagangan meyakini depresiasi nilai tukar rupiah justru akan membawa insentif bagi struktur perniagaan Indonesia, sehingga membuka peluang penyempitan defisit atau bahkan pencapaian surplus.
Mendag Muhammad Lutfi memandang fenomena pelemahan kurs rupiah saat ini memang sudah terprediksi sebagai dampak pengurangan stimulus nonkonvensional Amerika Serikat (quantitative easing), yang menyedot sirkulasi dolar kembali ke Negeri Paman Sam.
Namun, lanjutnya, kondisi tersebut justru membawa angin segar bagi kinerja ekspor dari sisi nilai. Pada saat bersamaan, dia tidak menampik bahwa situasi tersebut memang menekan neraca pembayaran.
“Sebenarnya ada dua dampaknya terhadap ekspor. Barang ekspor kita akan menjadi lebih murah. Namun, itu seharusnya berarti produk ekspor kita menjadi lebih kompetitif di luar negeri dalam waktu dekat ini,” jelasnya, Selasa (24/6/2014).
Insentif tersebut, kata Lutfi, juga memengaruhi performa ekspor crude palm oil (CPO), yang diharapkan kembali mencapai 1,7 juta ton pada Mei. Sebagai komoditas yang mendominasi 13% dari total ekspor nonmigas, perbaikan performa CPO akan menciutkan angka defisit.
“Mudah-mudahan ekspor CPO-nya jadi 1,7 juta ton, sehingga akan terjadi perbaikan. Jadi, kalaupun [neraca perdagangan] minus, angkanya akan sedikit sekali. Bahkan, mungkin akan terjadi surplus. Ini yang akan kami hitung sama-sama.”
Berdasarkan asumsi tersebut, Kemendag optimistis performa neraca perniagaan akan semakin membaik setelah menorehkan rekor defisit terburuk dalam 9 bulan pada April. Otoritas perdagangan juga yakin struktur ekspor akan terpugar kembali.