Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Kementerian Pertanian memperhatikan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) selama semester II-2014 sebagai pijakan merealisasi swasembada kedelai 2017.
Pasalnya, dalam laporan tersebut ditemukan bahwa Kementerian Pertanian tidak berhasil mencapai target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 20,05% per tahun dan target swasembada kedelai 2014 sebanyak 2,70 juta ton tidak tercapai.
Anggota DPR Komisi IV Rofi Munawar mengatakan kebutuhan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, produksi kedelai domestik tidak dapat mengimbanginya.
“Sehingga untuk mencukupinya masih harus impor. Produksi kedelai dalam negeri terus menurun secara tajam sejalan dengan penurunan areal tanam,” ujarnya lewat keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, Jumat (10/4/2015).
Pemerintah menargetkan swasembada pangan untuk padi, jagung, dan kedelai terealisasi dalam satu hingga 3 tahun ke depan.
Secara lebih teknis, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menggariskan target untuk masing-masing komoditas tersebut, seperti padi, pada tahun 2015 ini ditargetkan 73 juta ton, sedangkan untuk jagung 20 juta ton pada 2016 dan kedelai sebanyak 2,2 juta ton.
Rofi menambahkan laporan BPK ini memberikan gambaran nyata bagi Kementerian Pertanian bahwa target swasembada kedelai tahun 2017 harus dilakukan dengan perencanaan yang matang, infratruktur pertanian yang memadai, dan tata niaga yang sehat.
Apalagi, selama ini masih ditemukan beragam masalah produksi kedelai, seperti menurunnya areal tanam dan rendahnya harga jual di tingkat petani.
Secara nyata budidaya kedelai yang diusahakan dinilai tidak memberi keuntungan layak bagi petani, karena terbatasnya ketersediaan teknologi dan rendahnya adopsi teknologi di tingkat petani, serta rendahnya tingkat harga yang diterima, sehingga menurunkan nilai tukar petani.
“Produksi kedelai dalam negeri senantiasa mengalami fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Karena produksi kedelai yang tak stabil tersebut, dalam beberapa tahun terakhir berdampak langsung pada lonjakan harga di tingkat konsumen. Gejolak harga yang kerap terjadi tidak lepas karena industri berbahan baku kedelai di dalam negeri sangat tergantung dari pasokan impor,” katanya.
Rofi mencatat setiap tahun industri tahu-tempe membutuhkan 1,85 juta ton kedelai, industri kecap dan tauco 325.220 ton, benih 25.843 ton, dan untuk pakan 8.319 ton. Kebutuhan kedelai yang sangat tinggi ini belum dapat diimbangi dengan produksi nasional.
Pada akhirnya seringkali pemerintah melakukan impor kedelai untuk menekan gejolak harga di pasar. BPS mencatat selama 1990-2001 laju impor kedelai terus meningkat. Dari 541 ribu ton pada 1990 naik cukup drastis hingga 1,5 juta ton pada 2011.
Impor kedelai tersebar dari Amerika Serikat (AS) sebanyak 1,85 juta ton, Malaysia 120.000 ton, Argentina 73.000 ton, Uruguay 16.824 ton, dan Brasil 13.550 ton.
“Kementerian Pertanian harus melakukan kerja kolektif dengan berbagai pemangku kepentingan untuk dapat merealisasikan pencapaian target swasembada kedelai 2017. Di antaranya memastikan harga produksi di tingkat petani yang kompetitif, ekstensifikasi lahan dan penerapan teknologi baru,” ujarnya.
Dia mengatakan dengan kebutuhan kedelai sekitar 2,4 juta ton per tahun, ternyata produksi dalam negeri tak lebih dari 1 juta ton. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kedelai 2012 sebanyak 843.153 ton, pada 2013 turun menjadi 779.992 ton, dan pada 2014 naik menjadi 953.956 ton. []