Bisnis.com, INDRAMAYU - Petani garam Jawa Barat menilai efektivitas penetapan harga garam oleh Kementerian Perdagangan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani lokal.
Regulasi yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No.02/DAGLU/PER/5/2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani Garam dinilai masih mandul dan tidak mampu mendongkrak harga garam lokal saat memasuki panen raya.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Barat Edi Ruswandi mengatakan secara nasional mulai pertengahan Juli 2015 petani garam di Indonesia memasuki masa panen raya, tetapi harga jualnya masih di bawah standar.
Berdasarkan regulasi tersebut, harga garam kualitas I dipatok Rp750/kg dan kualitas II Rp550/kg. Akan tetapi faktanya patokan harga tersebut tidak efektif karena tata niaga garam masih belum stabil.
“Importir garam yang punya kewajiban menyerap produksi lokal 50% dari kuota impornya juga belum melaksanakan kewajibannya," ungkapnya, Selasa (18/8/2015).
Edi mengungkapkan kewajiban importir menyerap garam lokal 50% dari kuota impor telah diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 58/2012 tentang Impor.
Pada praktiknya penyerapan garam oleh importir kurang berjalan dengan baik.
Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi) M. Taufikkurahim menyatakan mandulnya patokan harga garam tersebut karena regulasinya tidak dilengkapi dengan perangkat lain yang secara teknis mengontrol penyerapan garam di lapangan.
“Contohnya gabah, ketika pemerintah menetapkan HPP, ada Bulog yang secara masif menyerap hasil produksi petani, dan hal itu tidak terjadi pada garam,” jelasnya.
Adapun soal penyerapan garam lokal oleh importir, Taufik memaparkan selama ini penyerapan hasil produksi menggunakan sistem kontrak harga dan kualitas yang ditentukan sehingga petani mendapat kepastian harga.
“Kenyataannya banyak juga petani yang lebih memilih menjual langsung garam ke pasaran yang sedikit lebih tinggi harganya akan tetapi tidak menentu,” paparnya.
Menurutnya, para importir memiliki standar tertentu pada kualitas garam yang akan diserap sehingga tidak semua garam hasil produksi lokal bisa terserap jika kualitasnya kurang sesuai.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan dalam waktu dekat bakal ada penyerapan garam lokal di Jabar.
Dia menyebutkan sebanyak lima perusahaan anggota AIPGI beberapa waktu lalu menandatangani nota kesepahaman untuk penyerapan garam lokal dari sentra produksi garam Jabar yang tersebar di Cirebon dan Indramayu.
Akan tetapi, penyerapan garam harus sesuai persyaratan kualitas yang harus dipenuhi oleh petani. "Industri pengguna garam tentu ingin garam yang terbaik karena nantinya akan jadi bahan baku," katanya.