Bisnis.com, YOGYAKARTA – Sebanyak 38 negara di dunia ternyata sudah menerapkan kebijakan pengampunan pajak, yang 14 negara di antaranya termasuk Indonesia sedang menjalankannya. Di luar itu, terdapat 2 negara yakni Kenya dan Yunani yang tengah menimbang untuk menerapkan tax amnesty.
Ke-14 negara tersebut adalah Argentina, Trinidad & Tobago, Thailand, Honduras, Indonesia, Korea Selatan, Fiji, Pakistan, dan Gibraltar. Sisanya 5 negara melakukan tax amnesty khusus repatriasi (offshore voluntray disclosure program), yaitu Israel, Malaysia, Rusia, Brasil dan India.
Managing Partner DDTC Darussalam menyatakan kalau kebijakan tax amnesty memberikan dampak buruk bagi masyarakat, menyebarkan teror yang meresahkan rakyat, tidak mungkin pemerintah dan parlemen di negara-negara tersebut bersepakat untuk menerapkan amnesti pajak.
“Tax amnesty dipraktikkan di negara sosialis dan kapitalis tanpa pandang bulu. Di Amerika Serikat, 45 dari 50 negara bagiannya pernah menerapkan kebijakan ini. Kalau kebijakan ini bakal meneror rakyat, mana mungkin negara-negara itu mau menerapkannya?” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (1/9/2016).
Darussalam mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan di sela-sela acara sosialisasi amnesti pajak bertema Tanya Jawab Tax Amnesty yang digelar DDTC bersama Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), di The Alana Hotel Convention Center, Yogyakarta.
Sosialisasi itu dihadiri pelaku usaha dari Yogyakarta, dan kota-kota sekitarnya. Sebanyak 150 kursi di The Alana Hotel Convention Center penuh terisi. Bahkan panitia harus menambah 50 kursi lagi untuk mengakomodasi peserta. Sosialisasi tax amnesty ini diberikan gratis kepada warga Yogyakarta.
Selain Darussalam, narasumber dalam acara tersebut adalah Dekan FEB UGM Wihana Kirana Jaya, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, dan Wakil Dekan FEB UGM Eko Suwardi. Dalam kesempatan itu, DDTC dan FEB UGM juga menandatangani MoU kerja sama pengembangan pendidikan.
Darussalam menekankan ada banyak pengalaman yang bisa dipetik Indonesia dari negara-negara yang sudah menerapkan tax amnesty, termasuk bagaimana penduduk di negara-negara tersebut menyikapi kebijakan tersebut, baik yang pro maupun kontra.
Menurut dia, pro kontra dalam tax amnesty, terutama dalam soal keadilan, selalu muncul di seluruh negara yang menerapkan tax amnesty. Hal itu bisa dipahami karena memang tax amnesty bukanlah kebijakan yang terbaik atau ideal, melainkan kebijakan terbaik kedua (second best policy).
“Kebijakan yang diharapkan tentu adalah kebijakan terbaik. Tapi dengan kendala dan situasi baik dari sisi kepatuhan pajak maupun sistem administrasi, sangat sulit mencapai hal tersebut. Akhirnya, yang terjadi biasanya adalah second best policy, yang sekaligus menjadi terobosan,” katanya.
Darussalam menambahkan gugatan yang dilakukan kelompok yang kontra terhadap kebijakan tax amnesty juga pernah diajukan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jerman pada 1990. Konstruksi gugatan itu berpijak pada soal ketidakadilan, yaitu diskriminasi antara wajib pajak patuh dan tidak patuh.
Namun dalam putusannya, MK Jerman menganggap tax amnesty tidak melanggar konstitusi. Pasalnya, tax amnesty bertujuan membawa kembali wajib pajak yang tidak patuh menjadi patuh. Karena itu, tax amnesty ditimbang sebagai ‘jembatan’ ke wajib pajak yang tidak patuh untuk kembali patuh.
Darussalam menambahkan MK Jerman juga mempertimbangkan motif legislasi tax amnesty untuk mengatasi permasalahan fiskal dengan cara memperkuat basis pajak. Atas dasar konstruksi berpikir yang sama, di negara lain, MK Kolombia juga memutus bahwa tax amnesty tak melanggar konstitusi.
“Pelajaran dari kasus uji materi tax amnesty di Jerman dan Kolombia itu tidak lain adalah bahwa argumentasi ketidakadilan tidak relevan terhadap tax amnesty. Sebab dengan tax amnesty, basis dan penerimaan pajak akan meningkat, dan itu digunakan untuk meraih cita-cita konstitusi,” tegasnya. ()