Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan saat ini terdapat perusahaan asal China yang tengah berdiskusi dengan PT Pertamina (Persero) dalam proyek Kilang Bontang.
Jonan menyebut pihaknya memberikan dukungan terhadap kerja sama di bidang pengolahan. Adapun, Kilang Bontang merupakan proyek Kilang baru dengan kapasitas 300.000 barel per hari. Kilang Bontang akan dibangun beserta kompleks petrokimia yang ditargetkan selesai pada 2024 dari target awal 2023.
Untuk seluruh proyek kilang, sebagai gambaran, penambahan kapasitas Kilang Balongan membutuhkan dana US$1,27 miliar, Kilang Balikpapan Us$5,3 miliar, Kilang Cilacap US$4,5 miliar, Kilang Tuban sekitar US$13 miliar dan Kilang Bontang sekitar US$8 miliar.
"Juga di bidang refinery atau pengolahan minyak kami juga mendukung ada kerja sama yang baik. Pada saat ini yang kami tahu sebuah perusahaan tiongkok sedang diskusikan kerja sama dengan pertamina grass root refinery di Bontang," ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara The 5th Indonesia-China Energy Forum, Senin (13/11/2017).
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII Syaikul Islam mengatakan perhitungan ekonomi proyek Kilang Bontang dan Tuban dinilai kurang menarik. Dia menilai Kilang Bontang memiliki internal rate return (IRR) atau tingkat pengembalian modal yang rendah.
"Komisi VII sudah pernah meninjau dua lokasi kilang tersebut. Secara kesiapan sangat bagus, bahkan untuk Kilanh Bontang insfrastruktur pendukung sudah ada karena menggunakan milik PT.Badak. Tapi hitungan keekonomiaannya kelihatan kurang menarik," katanya menjawab Bisnis.COM, Sabtu (20/5).
Dia menjelaskan, rendahnya IRR bisa jadi diakibatkan karena kilang tersebut hanya difokuskan untuk bahan bakar minyak (bbm). Menurutnya, jika terintegrasi dengan petrochemical bisa sangat menarik dan berpotensial secara bisnis.
"Saya pikir, dua mitra Pertamina dalam pembangunan dua kilang tersebut [Kilang Bontang dan Tuban] berfikir ulang atau berubah fikiran," katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, Syaikul berpendapat, pemerintah dan pihak terkait dapat menyusun ulang desain pembangunan kilang. Jika yang menjadi kendala adalah masalah dana, bisa diatasi dengan menarik investor dari luar negeri.
"Harus dilihat persoalannya dulu. Kemarin, waktu Raja Salman ke Indonesia, kenapa tidak jadi investasi ke Pertamina? Tapi justru milih Petronas, itu harus jadi pelajaran," ungkapnya.
Pengamat minyak bumi dan gas dari badan riset Reforminer Institute menanggapi wajar jika Presiden Joko Widodo memberi perhatian khusus terhadap proyek pembangunan kilang yang lambat dibangun.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengatakan, regulai pembangunan kilang pada dasarnya sudah ada dan cukup komprehensif.
"Tahapan-tahapan setelah pemenang lelang diputuskan pada dasarnya sudah cukup jelas. Prinsipnya, jika para pihak mengikuti tahapan yang ditetapkan sudah akan sangat membantu percepatannya [pembangunan kilang]," katanya, saat dihubungi bisnis.
Menurutnya, bisa saja, pemerintah juga menjadi penyebab lambatnya pembangunan itu. Karena pihak eksekutif memiliki peran sebagai pengontrol.