Bisnis.com, JAKARTA -- Rencana pemerintah DKI Jakarta menaikkan perolehan setoran pajak parkir dari 20% menjadi 30% dinilai akan memberatkan bisnis pusat belanja.
Stefanus Ridwan, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), mengatakan seharusnya peraturan tersebut dipertimbangkan masak-masak oleh pemerintah daerah dengan melihat kondisi pusat belanja saat ini.
"Kondisinya pusat belanja itu bukan tambang emas. Lihat saja beberapa mal sudah mulai sepi sedangkan cost juga naik. [Pajak parkir] 30% itu sangat memberatkan," kata Stefanus kepada Bisnis, Kamis (24/5/2018).
Adapun dengan ketentuan pajak parkir 20% saat ini, pengelola pusat belanja juga sudah dibebani biaya untuk operasional seperti upah pekerja, listrik dan lainnya. Apalagi sejumlah tarif juga naik.
Dia mengungkapkan tanpa kenaikan persentase pajak parkir pun, pendapatan dari parkir di pusat belanja trennya terus menurun.
Secara menyeluruh, katanya, juga perlu dilihat bahwa kondisi pasar yang cenderung stagnan dan adanya disrupsi serta perubahan perilaku konsumen juga berpengaruh pada pendapatan pusat belanja.
"Perdagangan ritel makin rumit. Semoga bisa dipertimbangkan, penambahan biaya di-hold karena bisa pengaruh ke service
charge, ritel pasti berat, masyarakat kena," ujarnya.
Sebelumnya, Handaka Santosa, Penasihat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sekaligus Direktur Utama Sogo Indonesia Department Store mengatakan
dalam membangun pusat belanja dibutuhkan investasi untuk membangun gedung dan sebagainya termasuk lahan parkir.
Misalnya saja satu kendaraan mobil parkir dengan tarif Rp5.000 per jam, jika parkir selama operasional mal yaitu 12 jam, biayanya sekitar Rp60.000 dengan menempati ruang 25 meter persegi.
"Apakah untung? Kenapa pajaknya malah dinaikin, bukannya dikasih insentif supaya membangun gedung parkir lebih banyak lagi karena itu kan sarana untuk mengurangi parkir on street dan lain-lain," katanya.
Menurutnya, pemerintah daerah harus lebih mempertimbangkan kondisi secara keseluruhan dan dampak yang ditimbulkan sebelum memutuskan kebijakan.
"Jadi sebelum menetapkan, mbok ya dipelajarin, apa yang terbaik untuk secara global, bukan karena pendapatan asli daerah, berat untuk semua masyarakat. Nanti konsumen malas belanja dan mengurangi belanja, jadi rantainya panjang," jelasnya.