Bisnis.com, JAKARTA — Budi Waseso, yang kerap disapa Buwas, paham betul bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang perberasan. Namun, ketika ditunjuk menjadi Direktur Utama Perum Bulog, dia menerima tantangan itu.
Berikut petikan wawancara Bisnis dengan Buwas, yang dimulai tepat pukul 07.00 WIB, Kamis (24/5). Hari masih pagi, tetapi Buwas sudah memulai aktivitasnya sejak pukul 5.45 WIB.
Setelah mengurus narkotika, kini mengurus beras. Apa saja tantangan yang sudah Anda identifikasi?
Sebenarnya tugas Bulog menjaga demand dan supply-nya, terutama dari produsen dan konsumen. Tugasnya cuma itu, tetapi permasalahannya banyak dan harus dibenahi perlahan-lahan, salah satunya regulasi. Regulasi sangat-sangat tidak menguntungkan Bulog. Ini juga harus kami evaluasi dan perbaiki.
Regulasi mana yang tidak menguntungkan Bulog?
Kalau keinginan saya sih banyak. Saya, setiap ditaruh di mana saja, selalu serius pada permasalahan di tempat saya bekerja. Saya di Bulog baru 2 minggu, tetapi saya sudah berpikir banyak dan banyak yang ingin saya lakukan. Akan tetapi, saya tahu regulasinya tidak mungkin. Saya maunya berlari, tetapi tidak bisa, karena apa? Ya itu, banyak yang menghambat saya untuk berlari. Padahal banyak persoalan kritis.
Intinya ada banyak hal yang masih perlu perubahan, misalnya masalah harga pembelian pemerintah, kewenangan Bulog sebagai deregulator dan operator, termasuk kewenangan kita melakukan disposal stock. Sekarang kami masih terus inventarisasi apa saja permasalahannya case by case.
Selain regulasi, apa lagi persoalannya?
Penguasaan pangan dilepas ke pasar bebas. Itu permasalahan besar. Akibatnya, bahan pokok dikuasai oleh pedagang dan pemodal besar yang mencari keuntungan pada momen tertentu.
Contohnya pada saat sekarang ini. Setiap bulan puasa, kebutuhan meningkat. Kebutuhan ini harusnya sudah bisa diantisipasi karena ini terus berulang setiap tahun.
Beras, yang ditangani Bulog, tersedia di mana-mana kok, dan panen raya itu bisa kita hitung, yang produksi padi besar dan surplus itu ada di mana-mana saja dan kalau kita hitung cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh Indonesia. Namun, faktanya, seperti hari ini, beras bisa menghilang, kan aneh bin ajaib. Dia bisa menghilang karena permainan kartel, yang melepasnya sedikit-sedikit di kala orang butuh banyak.
Orang-orang seperti ini tidak membantu negara dan masyarakat dalam menciptakan ketenangan. Justru dia menimbulkan keresahaan karena dia ingin mendapatkan keuntungan yang berlebihan pada saat momen ini. Itu pasti.
Apakah Anda melihat ada indikasi seperti itu?
Orang-orang itu tahu kekuatan Bulog hanya 10%, bahkan kurang, untuk intervensi. Kondisi ini dibaca oleh mereka karena itu memang keinginan mereka, bahwa kalau perlu pemerintah tidak punya kemampuan lagi di sembilan bahan pokok. Maka sebenarnya strategi mereka bagaimana menghancurkan Bulog. Kalau perlu, Bulog ke depan enggak ada, peran Bulog sudah tidak ada.
Saya sebagai polisi lihat betul kondisi ini. Persis. Kenapa? Kelemahaanya jelas kok, regulasi tidak berpihak pada Bulog atau negara ini, maka terjadilah seluruhnya kita tergantung pada impor. Apa yang tidak impor di negara ini, padahal kita ini negara agraris.
Apakah Anda sudah mendeteksi orang-orang yang memang punya upaya menghancurkan Bulog?
Saya sudah lihat, sudah ada pemetaannya, hanya saja saya tidak punya kewenangan untuk eksekusi. Instrumen ke situ tidak punya, maka itu saya serahkan kepada Satgas Pangan dan Kepolisian. Saya berprinsip bahwa pangan ini mutlak dan penting untuk masyarakat jadi tidak boleh pangan ini dipermainkan untuk kepentingan bisnis. Hari ini pangan dijadikan mainan bisnis, sehingga masyarakat sangat dirugikan, baik petani sebagai produsen, maupun masyarakat umum sebagai konsumennya. Memang sengaja ini dirusak supaya mereka mendapatkan keuntungan dan leluasa untuk impor.
Bagaimana Anda membangun keseimbangan dalam konteks membawa data yang relevan dan akurat?
Kalau ke dalam Bulog sudah, pengawasan realtime gudang-gudang, setiap hari keluar masuk beras kami tahu per gudang. Persoalannya Bulog itu hanya punya kekuatan kecil. Hanya cadangan saja untuk intervensi pasar, kegiatan sosial, dan bencana. Nah, sebagian besar ada di tangan-tangan pemodal-pemodal ini, justru itu permasalahannya. Mereka menguasai dalam jumlah 94%, sehingga semua terserah mereka. Mau dikeluarkan, urusan mereka. Mau ditahan, urusan mereka. Padahal, itu kebutuhan masyarakat.
Salah satu solusinya merombak regulasi itu?
Oh iya, kalau saya berpikir secara pribadi, berpikir strateginya, sembilan bahan pokok itu harus dikuasai oleh negara. Ini persoalan perut masyarakat Indonesia. Saya heran kalau masih dipikir isi perutnya masyarakat Indonesia masih boleh dipakai jadi mainan. Kalau saya, tidak boleh!
Kita harus kembalikan peran Bulog, bukan kami mencari solusi yang wah untuk mencari panggung atau popularitas? Bukan. Kehadiran saya di sini untuk mencari popularitas? Tidak. Kehadiran saya di sini tugasnya itu tadi, tugas berat, bagaimana ketersediaan pangan ini untuk masyarakat Indonesia ada, harganya stabil, dan berkualitas.
Menurut Anda perlukah adanya UU atau peraturan subversif untuk menindak oknum yang mempermainkan harga pangan?
Untuk ketahanan pangan, kestabilan pangan, dan kebutuhan masyarakat, hal itu sangat diperlukan. Saya sampai membuat terobosan beras renceng untuk melawan kartel-kartel yang menahan beras. Efeknya kalau beras ditahan, masyarakat kecil itu tidak dapat apa-apa. Untuk beli beras ke pasar saja, ongkosnya sudah berat. Saya berpikir, kopi dan teh yang bukan kebutuhan pokok saja ada di warung-warung. Kenapa beras yang kebutuhan pokok justru tidak ada di warung-warung? Itulah pemikiran sederhana saya, makanya kami ingin bisa suplai beras ke warung-warung.
Apakah regulasi seperti harga eceran tertinggi tidak cukup untuk menjaga kestabilan harga di pasar?
Tidak, karena itu justru mengunci Bulog supaya tidak bisa punya peran. Sekarang misalnya, pembelian tertinggi Rp3.700 dengan fleksibilitas 10%. Hal itu mematikan kami supaya tidak bisa serap beras petani. Itulah yang diharapkan para kartel. Bulog tak bisa serap, sehingga mereka yang serap.
Itu berarti kebijakan Kementerian Perdagangan tidak berpihak kepada negara?
Saya kira iya, karena dia mementingkan pedagang. Contohnya, kenapa kita harus mengimpor beras, sedangkan persoalannya bukan ketiadaan beras, tetapi ketidakmampuan Bulog menyerap beras. Kenapa Bulog tidak mampu menyerap beras? Regulasinya memang dibuat supaya Bulog tidak bisa apa-apa. Bulog dibuat sebagai alat ukur ketika stok di Bulog kecil, maka ini rawan sehingga harus impor. Tidak pernah ada data beras yang akurat sampai hari ini. Datanya selalu dibikin abu-abu. Supaya apa? supaya tidak ada yang tahu dan supaya bisa dipermainkan karena datanya abu-abu.
Jadi sebenarnya tantangan utama Anda adalah menciptakan data yang akurat?
Iya, tetapi itu bukan kewenangan saya. Itu kewenangan BPS . Ini kesengajaan menurut saya, seharusnya kita sudah harus paham dan harus kritis berpikir. Sebenarnya data ini mudah dengan sistem digital.
Bagaimana dengan sistem pendataan beras dengan menggunakan barcode?
Kita sekarang memang sudah pakai barcode, itulah sistem yang kita bangun dalam melawan kartel, tetapi kekuatan kami dibandingkan dengan kekuatan mereka tidak ada apa-apanya. Ibaratnya dalam militer atau kepolisian, dalam bertempur kami sudah kalah segala-galanya. Strategi kalah, kekuatan kalah, dan persenjataan kalah, tetapi saya bilang negara tidak boleh kalah.
Seperti program beras renceng. Saya menjalankan apa yang diperintahkan Presiden Jokowi agar negara hadir di tengah-tengah masyarakat. Itu cara saya berpikir sederhana, tetapi realisasinya jelas. Yang kami lakukan nyata dan tidak sekadar omongan.
Keberanian ini yang membuat Anda ditunjuk Presiden Jokowi?
Saya tidak tahu jelas, yang tahu pertimbangannya adalah Presiden. Saya tidak punya latar belakang yang menjadi alasan saya berada di Bulog. Saya bukan sarjana ekonomi atau sarjana bisnis perdagangan. Bahkan, pengalaman juga tidak punya. Dalam pemikiran saya hanya ada strategi dan aturan.
Saya melihat masalah pangan tidak sederhana, makanya kalau sekarang saya buat terobosan-terobosan atau inovasi, itu karena memang diperlukan. Saya bilang kepada staf saya untuk berinovasi dan semangat, seperti komitmennya Bulog.
Apa yang menjadi program prioritas Anda untuk menangani masalah kerawanan pangan?
Dalam jangka pendek, saya ingin bagaimana supply dan demand terjaga betul dalam kurun yang singkat untuk menghadapi puasa dan Lebaran. Untuk jangka menengah, saya harus membangun sarana dan prasarana di Bulog. Kemudian, bagaimana kita bisa mengubah regulasi yang masih menghambat. Untuk jangka panjang, bagaimana caranya kita bisa membangun kekuatan bersinergi dengan kementerian atau lembaga lain yang punya hubungan atau kepentingan terkait dengan pangan.
Bagi saya sebagai Dirut Bulog, berbagai persoalan pangan saat ini sudah sangat emergency, jadi harus dihadapi dengan ketegasan. Bahkan, jika harus dilakukan dengan tangan besi, akan saya lakukan.
Bagaimana Anda akan memanfaatkan jaringan di penegak hukum untuk mengakselerasi peran Bulog?
Saya sudah dapat data-data dari lapangan. Setiap hari saya dapat dari jejaring saya di lapangan. Apa yang diperbuat oleh anggota saya, saya tahu. Saya bilang ke internal saya, siapa yang main-main, akan saya mundurkan dan bersihkan, karena saya punya kewenangan. Jadi, jangan nyaman dengan sistem yang sudah dinikmati yang lalu-lalu. Sekarang harus berubah dan harus berpihak pada negara. Meski saya tidak jago dalam masalah ekonomi perdagangan, jangan coba-coba membohongi saya, karena cepat atau lambat pasti ketahuan.
Apa filosofi hidup Anda ?
Hidup harus bermanfaat, bermakna, dan bermanfaat. Itu saja.
*) Artikel dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Senin 28 Mei 2018