Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha mengapresiasi upaya pemerintah untuk efisiensi biaya ekspor melalui rute langsung atau direct call dari Pelabuhan Tanjung Priok atau Jakarta Internasional Container Terminal (JICT).
Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, mengatakan APINDO dan komunitas pelaku usaha memahami bahwa direct call dari JICT ke negara ekspor dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi logistik perdagangan dari segi waktu maupun biaya dengan meniadakan port of transit.
“Kami melihat bahwa system direct call ini dalam jangka panjang dapat menjadi komplemen dari pembangunan infrastruktur perdagangan Indonesia yang sekarang sedang dalam pembangunan,” ujarnya, kepada Bisnis.com.
Pada dasarnya, katanya, ada beberapa hal yang penting untuk pelaku usaha Indonesia, khususnya para eksportir, terkait logistik perdagangan, yakni efisiensi perdagangan dari segi waktu dan biaya serta adanya konsistensi atau logistic reliability.
Dari segi efisiensi waktu, katanya, APINDO melihat bahwa sistem direct call dari JICT ini sangat positif, khususnya untuk perdagangan komoditas yang memiliki tuntutan tinggi terhadap speed of transfer. Dimana komoditi pertanian dan perikanan yang perishable seperti udang, ikan dan buah-buahan termasuk dalam kategori ini.
Oleh karena itu, menurutnya, direct call potensial untuk meningkatkan ekspor Indonesia untuk fresh food products yang saat ini tren konsumsinya meningkat dibandingkan tren konsumsi produk makanan olahan.
“Industri-industri yang memiliki pace perdagangan yang cepat seperti industri garmen dan sepatu juga diuntungkan karena direct call memungkinkan Indonesia untuk menyuplai barang secara lebih cepat ke negara tujuan,” jelasnya.
Di samping itu, katanya, industri dan komoditas lain di luar itu juga sebetulnya dapat memperoleh manfaat dari direct call apabila produknya dapat sampai lebih cepat di tangan konsumen karena tren konsumsi global saat ini sangat mengedepankan kualitas dan kecepatan barang untuk sampai ke tangan konsumen.
Adapun dari segi efisiensi biaya logistik, APINDO berharap direct call dapat memberikan harga yang bersaing atau lebih rendah dari harga logistik perdagangan yang ditawarkan saat ini.
Saat ini pada umumnya, perdagangan langsung dari Indonesia ke negara tujuan ekspor memiliki biaya logistik yang lebih mahal dari pada apabila perdagangan dilakukan melalui port of transit besar di kawasan seperti Singapura dan Hongkong.
Hal ini karena kargo direct call tidak selalu penuh sehingga pengusaha harus menanggung biaya kargo kosong. Dampaknya, hanya sedikit industri yang berani dan sudah benar-benar memanfaatkan direct call meskipun biayanya lebih mahal.
“Kecenderungan mahalnya biaya logistic direct call ini merupakan resiko yang harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia supaya tidak ada lonjakan biaya logistik,” katanya.
Menurutnya, apabila segi biaya ini tidak diperhatikan, direct call dikhawatirkan hanya akan mengurangi daya saing perdagangan Indonesia.
Jika hal tersebut tidak dimonitor, katanya, tujuan positif yang ingin dicapai pemerintah Indonesia dalam jangka panjang, seperti menjadikan Indonesia sebagai port of transit regional di masa depan, akan sangat sulit dicapai karena hanya industri-industri tertentu saja yang mampu dan mau membayar biaya direct shipping yang mahal.
Menurutnya, direct call ini harus dilihat sebagai investasi jangka panjang di sektor logistik perdagangan Indonesia. Dalam jangka pendek, Indonesia mungkin perlu berani rugi untuk mengupayakan agar direct call ini menjadi stabil dan benar-benar menguntungkan untuk Indonesia di kemudian hari seperti halnya di Singapore saat ini.
“Pemerintah Indonesia perlu memonitor dan mengantisipasi lonjakan harga logistik ini secara sistematis dan konsisten,” ujarnya.
Hal tersebut, katanya, perlu dilakukan setidaknya sampai Indonesia memiliki volume perdagangan yang cukup besar dan seimbang yang memungkinkan direct call shipping dari Indonesia ke negara tujuan ekspor memiliki biaya logistik yang cukup bersaing dengan Singapore atau Hongkong.
Sementara itu, Benny Soetrisno, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, mengatakan sebagai pelaku ekspor, pihaknya tentu menyambut baik direct call dari JICT dan pelaku usaha juga menunggu informasi lanjut terkait negara tujuan rute ini.
“Sudah tentu menurunkan tariff dan waktu. Kalau lewat Singapore kita kena biaya Feeder sekitar US$150.00 per Teus,” katanya.
Dia menambahkan dampaknya waktu lebih cepat tiba di negara tujuan dan tidak terkena tambahan biaya Feeder Cost. Harga barang ketika sampai negara tujuan lebih kompetitif, sehingga bisa meningkatkan daya saing.
Pihaknya juga menyetujui jika JICT sebagai Pelabuhan Pengumpul (Hub Port) untuk negara tujuan yang sudah ada Direct Call . Selain itu, menurutnya Pelabuhan Tanjung Perak juga bisa direncanakan sebagai hub Port untuk cargo dari kawasan Indonesia Timur jika sudah memiliki direct call
“Pelaku industri ekspor sudah barang tentu memanfaatkan,” katanya.