Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara di Eropa dan Amerika Utara dalam strategi ekonomi environmental, social, and governance (ESG) yang merupakan tindak lanjut dari Paris Agreement yang disahkan pada 3 tahun silam.
Hal ini disebabkan oleh cadangan batu bara Indonesia yang masih lebih murah dibandingkan negara-negara lain. Akan tetapi, turunnya harga energi terbarukan yang kini telah menyaingi harga energi yang memakai bahan bakar fosil menjadi hal yang patut dipertimbangkan.
Pimpinan Green Finance HSBC Asia Jonathan Drew mengatakan bahwa Indonesia masih menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dalam produksi minyak kelapa sawit (CPO).
Namun demikian, ekonomi ESG ini telah memberi dampak riil kepada perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari penerbitan Peraturan OJK (POJK) no. 60/POJK/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).
Selain itu, Indonesia merupakan negara pertama yang menerbitkan sukuk hijau senilai US$1,25 miliar ke pasar global dengan tenor 5 tahun dan bunga sebesar 4.05%. “Hal ini menunjukkan sisi positif di mana keuangan syariah dapat ikut mengembangkan ESG,” ujar Jonathan, Selasa (18/9/2018).
Menurut Drew, dunia sedang menuju ke arah green finance dan green transaction, pasalnya volume dan nilai transaksi investasi global berbasis lingkungan terus meningkat dan memberikan dampak terhadap korporasi global.
Menurut laporan Hong Kong and Shanghai Banking Corporation Ltd. (HSBC), 87,8% perusahaan di Eropa dan Inggris serta 48% korporasi global telah memiliki strategi untuk mengimplementasikan ESG. Adapun di Asia hanya 24% korporasi yang telah melakukannya.
Global Head of Sustainable Finance HSBC Daniel Klier mengatakan bahwa cukup masuk akal jika perusahaan besar di Eropa akan mengharapkan perubahan serupa dalam pendekatan ESG oleh pemasok mereka. Pemasok yang dimaksud oleh Daniel merupakan negara-negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia.
“Perusahaan di seluruh dunia, khususnya di Eropa dan Amerika Utara, telah membuat komitmen untuk ‘menghijaukan’ operasi dan rantai supply yang telah memberikan efek signifikan di Asia dan Asia Tenggara ketika permintaan terhadap keterbukaan dan berkelanjutan,” paparnya.
Daniel melanjutkan bahwa negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris, dan China menjadikan negara-negara di Asia Tenggara semakin menjadi gudang rantai pasokan dalam industri elektronik, tekstil, dan otomotif.