Bisnis.com, JAKARTA — Pajak homestay dinilai memberatkan bagi pelaku usaha. Okupansi homestay jadi tidak maksimal gara-gara pungutan sebesar 10% tersebut, apalagi suplai kamar sedang berlebih.
Ketua Ubud Home Stay Assosiation (UHSA) Ida Bagus Wiryawan mengatakan keberatan itu dikarenakan okupansi homestay khususnya yang berada di Ubud tak maksimal.
Sepanjang tahun lalu, okupansi homestay yang berada di Ubud rerata sebesar 45% merosot sebesar tahun 2017 yang rerata bisa mencapai 60%. Pada awal tahun ini saja, okupansi homestay di Ubud hanya sekitar 30%, sangat rendah bila dibandingkan dengan rerata awal tahun yang bisa mencapai 50% hingga 60%.
"Selama ini pajak homestay dan pondok wisata masih dikenakan 10% per bulan sesuai Perda yang berlaku dan ini tentu memberatkan kami," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/2).
Wiryawan yang akrab dipanggil Gusde ini menuturkan tidak maksimalnya okupansi homestay di Ubud dikarenakan oversupply atau kelebihan kamar.
Saat ini, jumlah homestay di Ubud mencapai 500 kamar dengan jumlah kamar sebanyak 2.200 kamar. Pada tahun ini, diperkirakan akan ada penambahan jumlah kamar mengingat sedang naik daunnya homestay di rumah penduduk.
Baca Juga
"Untuk berapa banyak penambahannya saya kurang tahu pastinya. Oversupply ini tentu berpengaruh ke okupansi. Selain itu juga karena persaingan dengan akomodasi lain yang lebih murah seperti Air B n B dan kost eksklusif," ucapnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mendorong pelaku usaha homestay yakni dengan mengubah besaran pajak homestay.
Untuk mendorong pelaku usaha homestay, lanjutnya, pajak homestay semestinya tak dikenakan sebesar 10% dari perolehan pendapatan setiap bulannya. Dia mengusulkan agar pajak untuk homestay dikenakan secara berjenjang sesuai dengan klaster dan jumlah kamar. Tentunya besaran pajaknya di bawah 10%.
"Kami tengah bahas ini dengan Kementerian Pariwisata terkait formula pajak yang pas untuk pemilik homestay. Nanti akan ada instruksi langsung dari pusat ke pemerintah daerah terkait pajak ini," tutur Gusde.