Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah telah meneken aturan turunan tentang harga gas industri, dengan sejumlah pemangkasan yang dilakukan agar harga gas industri bisa diterapkan maksimal US$6 per Mmbtu. Hal tersebut dianggap menjadi salah satu ancaman untuk industri hilir migas.
Direktur Executive Energi Watch Mamit Setiawan berpendapat, keberlangsungan bisnis migas di sisi hulu dan hilir khususnya gas bumi menjadi dipertanyakan.
“Pada saat pemerintah melindungi keekonomian kontraktor hulu dalam implementasi kebijakan ini, tetapi sebaliknya badan usaha hilir diminta berkontribusi,” katanya kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020).
Lebih lanjut, kendati dalam Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2020 terdapat skema pemberian insentif untuk badan usaha yang menyalurkan gas bumi, tetapi hingga saat ini skemanya masih belum jelas dipaparkan.
Menurut Mamit, jika keekonomian badan usaha di sektor hilir terganggu, maka seharus pemberian insentif tersebut dapat berupa kompensasi atau subsidi dari APBN yang diberikan kepada badan usaha seperti penugasan pendistribusian BBM.
“Saya kira hal yang wajar jika pemerintah menargetkan harga US$6 per mmbtu tidak meninggalkan keberlanjutan usaha dari badan usaha hilir,” ungkapnya.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah resmi meneken beleid tentang pengaturan harga gas industri menjadi US$6 per Mmbtu.
Menteri ESDM Arifin Tasrif telah meneken Permen ESDM No8/2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Adapun, beleid tersebut merupakan pelaksanaan atas rapat terbatas (ratas) yang digelar pada 18 Maret 2020 lalu yang memutuskan penyesuaian harga gas untuk industri termasuk kebutuhan PT Perusahaan Listrik Negara.
Berdasarkan pasal 3 ayat 1 regulasi itu, harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar USD6 per MMBTU. Harga gas tersebut diperuntukkan bagi tujuh golongan industri yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Beleid tersebut diundangkan di Jakarta pada 6 April 2020 dan telah resmi berlaku sejak tanggal beleid tersebut diundangkan.