Selalu ada sisi terang dari gelap. Begitu kata para bijak bestari. Gelap tidak selalu identik kemuraman, juga bukan berarti tidak ada celah untuk mengukir harapan di masa depan. Dalam momen gelap, selalu saja ada peluang hikmah, bahkan berkah, sebagai titik balik menyehatkan dan memajukan kehidupan
Ada banyak berkah yang muncul seiring pandemi Covid-19: kita lebih kreatif, banyak ide, mengerjakan hal-hal riil dan otentik, lebih peduli soal kesehatan, dan lainnya. Seperti wabah-wabah besar yang pernah mengguncang dunia sebelumnya, pandemi Covid-19 kali ini mengubah banyak hal, yang oleh sejumlah ahli –salah satunya Yuval Noah Harari— dinamakan kenormalan baru (new normal).
Tidak terkecuali perubahan pola belanja dan pola konsumsi. Sejumlah survei, antara lain oleh Nielsen dan McKinsey & Company, April 2020, memotret perubahan perilaku konsumen sebelum dan saat pandemi. Terkait pangan, survei ini menemukan sejumlah perubahan perilaku menarik.
Pertama, pendapatan yang menurun dan akses yang makin terbatas membuat konsumen mengalihkan kebiasaan makan di luar jadi masak di rumah. Sebanyak 49% konsumen mengaku lebih sering memasak di rumah saat pandemi Covid-19. Pengeluaran makan di luar rumah kini beralih untuk berbelanja bahan makanan untuk dimasak sendiri. Pilihan belanja beragam: memesan lewat online atau ke supermarket terdekat.
Kedua, pola belanja pangan oleh konsumen semakin selektif. Mereka berbelanja bukan lagi karena dorongan keinginan, tetapi lantaran kebutuhan.
Ketiga, menu diet bukan lagi untuk berat tubuh yang ideal, tetapi atas pertimbangan atau kepentingan kesehatan tubuh.
Keempat, belanja pangan sumber protein, lemak, buah, sayuran dan produk-produk segar mengalami kenaikan drastis. Ini antara lain terjadi pada telur (naik 26%), daging (19%), daging unggas (25%), serta buah dan sayur (8%).
Kelima, belanja rempah-rempah atau empon-empon seperti jahe, kunyit, kapulaga, dan lainnya serta minuman herbal yang diyakini naikkan imunitas tubuh meningkat drastis.
Keenam, dalam membeli aneka kebutuhan, termasuk kebutuhan pangan pangan, konsumen menimbang aspek higienitas, kesegaran bahan, keamanan, dan lokalitas (bukan impor). Dibandingkan negara lain, konsumen Indonesia termasuk amat memperhatikan keempat aspek tersebut.
Menggeser Kebutuhan
Apa yang terjadi? Mengacu pada piramida Abraham Maslow, konsumen kini menggeser kebutuhan dari puncak piramida, yakni aktualisasi diri dan esteem, ke dasar piramida, yakni makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.
Belum diketahui pasti apakah perubahan pola belanja dan pola konsumsi ini hanya bentuk strategi bertahan sementara (coping strategies) masyarakat dan akan sirna setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Menimbang kemungkinan Covid-19 akan selalu bersama umat manusia, ada peluang perubahan pola belanja dan pola konsumsi ini bakal menjadi praktik berkelanjutan di masa depan (future practice). Jika hal yang terakhir ini yang terjadi, perubahan itu membuka peluang besar bagi aneka produk pangan domestik.
Lebih dari itu, orientasi konsumen menimbang aspek higienitas, kesegaran bahan, keamanan, dan lokalitas (bukan impor), memberi dampak berganda yang luas.
Selama ini kita tidak pernah bertanya berapa ratus, bahkan ribu kilometer, makanan pengisi perut yang ada di meja makan menempuh perjalanan dari daerah asalnya. Dalam pangan ada istilah food miles: jejak karbon yang timbul akibat perjalanan makanan dari tempat ia tumbuh hingga disantap.
Kian jauh makanan “jalan-jalan” semakin tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan makanan yang kita santap. Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan kini telah bertransformasi luar biasa.
Pengecer terus mengembangkan outlet dan sistem distribusi yang kian luas dan canggih. Namun, jarak tempuh yang amat jauh membuat makanan tak efisien berdasarkan kalori, dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Lokalitas menjanjikan dampak minor lingkungan akibat food miles.
Berikutnya, lokalitas membuat rantai pasok menjadi lebih pendek. Perjalanan pangan dari produsen ke konsumen, secara teoritis, lebih cepat sampai. Aspek kesegaran dan higienitas terjawab sekaligus.
Lebih dari itu, rantai pasok yang lebih pendek, secara teoritis, bakal menekan biaya transaksi dan membuat pasar semakin efisien. Ujung-ujungnya, balas jasa kepada pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok semakin baik. Jika ini yang terjadi, petani sebagai produsen pangan berpeluang meraih untung lebih.
Terakhir, aspek lokalitas identik dengan sumber daya lokal. Artinya, konsumen kini lebih bertumpu pada pangan produksi lokal, yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya.
Implikasi serius Covid-19 yang memutus (membatasi) lalu lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa, tanpa banyak kita sadari telah “memaksa” konsumen harus bersandar pada produk pangan lokal.
Bagi gerakan diversifikasi pangan, ini berkah tak terperi. Gerakan ini sudah dilakukan sejak 1960-an, tapi sejauh ini catatan keberhasilannya belum banyak. Boleh dibilang, diversifikasi pangan kini makin mundur.
Semua paham, mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit) bertahun-tahun, termasuk dalam pola makan, bukanlah hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indera (terutama perasa dan penglihatan), dan pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), dan kebudayaan (akulturasi dan adaptasi).
Kini, dipaksa oleh pandemi Covid-19, ada peluang perubahan pola makan berlangsung lebih cepat. Momentum ini mesti dimanfaatkan agar tak hilang.