Bisnis.com, JAKARTA - Produksi industri kertas pada 2002 dinilai masih akan tumbuh positif secara tahunan. Namun demikian, pabrikan dipaksa untuk melakukan diversifikasi dan pergeseran produksi karena pandemi Covid-19.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mendata volume produksi pulp akan naik sekitar 7 persen menjadi 10,8 juta ton pada akhir 2002, sedangkan volume produksi kertas diharapkan akan tumbuh 0 persen atau sama dan realisasi 2019 di level 13,6 juta ton. Perlambatan produksi tersebut disebabkan oleh menurunnya permintaan kertas tulis selama pandemi Covid-19.
"Umumnya, industri dapat mencari alternatif dengan diversifikasi peralihan untuk produksi kertas sebagai penopang industri kesehatan seperti kertas tisu ataupun produksi masker. Dengan haltersbut diharapkan juga utilisasi dan aktivitas perusahaan tetap terjaga produktivitasnya," kata Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida kepada Bisnis, Selasa (17/11/2020).
Liana berujar peralihan tersebut dilakukan lantaran permintaan kertas anjlok akibat tidak adanya aktivitas di sekolah dan wilayah perkantoran. Sementara itu, kertas untuk kebutuhan kemasan meningkat karena tingginya aktivitas belanja daring.
Adapun, peralihan produksi tersebut membutuhkan investasi tambahan. Pasalnya, mesin produksi kertas tulis tidak dapat memproduksi kertas tisu maupun kertas industri yang kerap dipakai untuk kemasan.
Namun demikian, Liana optimistis laju pertumbuhan industri kertas akan kembali normal pada 2021. Menurutnya, volume produksi industri pulp akan meningkat 1,85 persen menjadi 11 juta ton, sementara itu volume produksi kertas naik 5 persen menjadi 14,28 juta ton.
Baca Juga
"Peningkatan [volume produksi] terjadi karena beberapa pengusaha berencana melakukan investasi baru, seperti perluasan [pabrik], upgrading [mesin], debottlenecking, dan restrukturisasi pabrik," katanya.
Sebelumnya, Liana setidaknya telah menyiapkan masing-masing dua strategi di sisi produksi maupun bahan baku dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dari sisi bahan baku, Liana menyatakan akan berusaha mempermudah ketersediaan bahan baku di dalam negeri melalui tiga cara.
Pertama, APKI akan meminta dilakukannya relaksasi peraturan dan regulasi ketersediaan kertas daur ulang. Adapun, skrap kertas impor menopang sekitar 50% dari kebutuhan bahan baku pabrikan kertas.
Seperti diketahui, pemerintah telah menginstruksikan agar impuritas skrap kertas impor berada di level 2%. Namun demikian,ujar Liana, minimnya aturan tertulis mengenai instruksi tersebut membuat lembaga survei enggan memeriksa kontainer skrap kertas impor.
Oleh karena itu, Liana berujar harus ada revisi pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 92/2019 tentang Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Revisi tersebut dinilai dilakukan paling lambat rampung sebelum akhir bulan ini lantaran proses impor skrap kertas membutuhkan waktu sekitar 3 bulan.
Permendag No. 92/2019 merupakan revisi dari penerbitan Permendag No. 84/2019 yang menyatakan bahwa impuritas skrap harus di level 0% dan homogen. Terbitnya Permendag No. 92/2019 bukan memperbaiki Permendag No. 84/2019, namun memperburuk tingkat ketersediaan bahan baku dengan adanya tambahan persyaratan dari KLHK di luar dari ketentuan Permendag tersebut.
APKI menilai bahwa aturan tersebut memiliki banyak poin yang tidak masuk akal seperti tingkat impuritas dan homogenitas. Pasalnya, kedua hal tersebut tidak sesuai dengan best practices tata niaga global.
Kedua, mengajukan dikeluarkannya pulp dari produk yang harus dikarantina ataupun melalui proses registrasi sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 136/2020 tentang Jenis Media Pembawa Hama dan Penyakit Hewan Karantina dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
Adapun, beleid tersebut menyatakan bahwa barang yang tergabung dalam 1.724 pos tarif harus dikarantina sebelum masuk ke dalam negeri. Adapun, ada sebanyak 29 jenis pulp yang harus dikarantina sebelum masuk ke dalam negeri.