Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef: Pertumbuhan Ekonomi 2022 Bisa Lebih Lamban dari 2021, Ini Penyebabnya

Tahun ini adalah fase pemulihan, tetapi Indef memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2022 lebih rendah dibandingkan dengan 2021.
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (9/2/2021). Bisnis/Arief Hermawan P
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (9/2/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi di 2022 harus lebih jeli.

Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto menyampaikan bahwa sejumlah risiko masih akan membayangi pertumbuhan ekonomi pada 2022. Sejumlah risiko tersebut meliputi lonjakan inflasi global dan normalisasi kebijakan moneter bank sentral khususnya Amerika Serikat (AS).

Proyeksi tersebut juga sejalan dengan pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 oleh International Monetary Fund (IMF). Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan lebih rendah 0,3 poin dari proyeksi sebelumnya, yakni turun ke 5,6 persen dari 5,9 persen pada proyeksi awal.

"Tahun ini adalah fase pemulihan, tetapi diperkirakan pertumbuhan di 2022 lebih rendah. Karena melihat tantangan-tantangan bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga secara global, tidak gampang. Selain itu, secara baseline [pertumbuhan ekonomi] 2021 dengan 2022 dan juga 2020 dan 2021 juga beda," jelas Eko pada konferensi pers virtual, Selasa (8/2/2022).

Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2021 mencapai 3,69 persen (yoy), atau berada di batas bawah target pemerintah yakni 3,7-4,0 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut juga ikut didorong oleh capaian kuartal IV/2021 yang melesat ke 5,02 persen (yoy).

Untuk 2022, pemerintah menargetkan pertumbuhan mencapai 5,2 persen (yoy). Hal tersebut sesuai dengan asumsi makro APBN 2022.

Sementara itu, Indef memperkirakan pertumbuhan yang lebih rendah yakni 4,3 persen (yoy). Hal tersebut sejalan dengan proyeksi ekonomi global yang lebih rendah yakni 4,4 persen serta tidak adanya lagi low base effect seperti di 2021.

Kendati demikian, Eko menyatakan bahwa masih ada harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target. Namun, dia menegaskan pemerintah harus memfokuskan kebijakan anggaran pada pengendalian pandemi Covid-19, sebagai cara untuk memulihkan ekonomi.

"Tentu saja kebijakan pemulihan ekonomi itu syaratnya mengatasi pandemi. Kemudian, bansos dan UMKM. Itu yang diperbaiki. Kalau pemindahan ibu kota sebetulnya bisa ditunda, menunggu nanti kalau jadi negara maju mau dipindahkan ke mana saja tidak masalah. Masalahnya ini anggarannya cekak, mau tumbuh tinggi, tapi anggaran diacak-acak," katanya.

Eko lalu menjabarkan sejumlah risiko bagi perekonomian 2022 yakni mutasi virus, gejolak harga minyak, lonjakan harga komoditas yang memicu inflasi, dan tapering-off oleh bank sentral AS.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper