Bisnis.com, JAKARTA - Revisi dua beleid yang mengatur ihwal kontrak kerja sama atau production sharing contract (PSC) dan fasilitas perpajakan pada industri hulu minyak dan gas (migas) telah memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Dua beleid yang tengah dirampungkan itu, yakni PP No. 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan PP No.27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
“Sudah masuk harmonisasi di Kemenkumham, kita tunggu saja,” kata Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi saat ditemui di sela-sela agenda IPA Convex, BSD Tangerang, Rabu (26/7/2023).
Kurnia mengatakan revisi dua PP itu diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta ketertarikan investor hulu migas kelas kakap untuk berinvestasi di portofolio Indonesia mendatang.
Sejumlah muatan revisi beleid itu, di antaranya adalah bakal memperbaiki bagi hasil atau split, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga perpajakan di sisi hulu industri migas.
Spesifiknya setelah perbaikan fasilitas perpajakan untuk kontrak gross split, seperti perluasan masa pemberian fasilitas perpajakan untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) setelah tahap produksi komersial.
Baca Juga
Sementara itu, fokus revisi pada PP No. 27/2017 berkaitan dengan batasan jangka waktu bagi KKKS dengan PSC cost recovery untuk mendapatkan fasilitas perpajakan.
Di sisi lain, revisi PP No.27 Tahun 2017 juga mengarah pada amandemen PSC tanpa jangka waktu dan imbalan domestic market obligation (DMO) hingga 100 persen.
Dua beleid hasil revisi nantinya juga bakal memasukan ketentuan ihwal pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS/CCUS yang menjadi bagian dari operasi perminyakan.
Seperti yang diberitakan Bisnis sebelumnya, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berharap revisi dua beleid itu dapat mengurangi beban perpajakan khusus yang selama ini diterima KKKS yang beroperasi di Tanah Air.
Terlebih, kata Moshe, beban pajak yang ditanggung KKKS mencapai 40 persen dari keseluruhan porsi pendapatan yang diterima suatu perusahaan.
“Terus terang pajaknya terlalu tinggi dibandingkan industri lain, kalau dihitung-hitung gross split, cost recovery itu pajaknya bisa 40 persen, kalau bisa ada keringanan memang di situ karena negara lain biasanya tidak ada pajak khusus [migas],” kata Moshe saat dihubungi, Selasa (11/7/2023).
Moshe menuturkan, pajak khusus yang diterapkan pada industri migas di Indonesia berkaitan dengan aktivitas pembagian dividen KKKS yang memiliki induk di luar negeri. Pungutan pajak yang masuk ke dalam kategori branch profit tax itu dinilai mengoreksi pendapatan KKKS asing terbilang signifikan yang ditambah dengan badan usaha atau corporate tax biasa.
“Mau setor atau tidak setor [dividen KKKS asing] itu pajaknya tetap dari pendapatan, padahal kalau mereka tidak setor keluar negeri kan harusnya tidak dipajaki, tapi ini tetap dipajaki, itu harus direvisi banyak yang keberatan di situ,” kata dia.