Bisnis.com, JAKARTA- Pelaku industri mengaku kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang diperuntukkan bagi beberapa sektor tidak berjalan optimal. Pasalnya, terdapat hambatan teknis penyaluran, serta tersendatnya pasokan.
HGBT ini diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 91/2023. Regulasi tersebut mengubah harga jual gas murah, menjadi US$6,5-US$7 per MMBtu sejak Mei lalu.
Hingga kini, penyerapan HGBT belum optimal. Pelaku usaha menilai lambatnya alokasi gas baru oleh Kementerian ESDM, serta gangguan pasokan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), membuat pengusaha mundur.
Salah satu kendala itu dihadapi industri keramik. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengungkapkan dampak serapan minim HGBT, telah menahan laju ekspansi industri.
Dia pun menerangkan sejumlah kendala harga gas murah ini telah dihadapi oleh industri keramik sejak 2021. Saat itu, manfaat kebijakan HGBT di level US$6 per MMBtu pun belum diterima sepenuhnya.
"Kususnya untuk industri keramik yang berada di Jawa Timur di mana dikenai AGIT [alokasi gas industri tertentu] 65% sampai dengan sekarang dan untuk pemakaian tersebut dikenai harga gas normal US$7,98 per MMbtu," ujar Edy.
Baca Juga
Di sisi lain, pada pertengahan 2022, industri keramik yang berada di Jawa Barat dikenai AGIT 85%-90% dan di atas itu dikenai US$9,12 per MMBtu. Edy menuturkan bahwa kebijakan AGIT tersebut tidak selaras dengan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing industri keramik yang saat ini sedang dikuasai produk impor dari China.
Hal ini pun dibenarkan oleh Kementerian Perindustrian yang menyebutkan masih ada pembatasan pasokan gas bumi tertentu dan sejumlah industri belum mendapatkan HGBT meski telah direkomendasikan oleh Menteri Perindustrian.
Berdasarkan data Kemenperin, pada tahun 2022 terjadi pembatasan kuota di Jawa Timur antara 61-93% kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota ditetapkan di hampir seluruh perusahaan.
Adapun, di Jawa Bagian Barat, selama 2022, volume gas bumi yang ditagihkan dengan harga sesuai keputusan Menteri ESDM adalah antara 89%-97%. "Jika industri memakai lebih dari 89%, maka sisanya harus dibayarkan dengan harga normal," kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, beberapa waktu lalu.