Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Sapi 1,5 Juta Diramal Telan Anggaran Jumbo, Pemerintah Perlu Berhitung Ulang

Pemerintah diminta untuk berhitung ulang jika ingin merealisasikan program impor sapi, yang dikabarkan bakal dipakai untuk makan siang bergizi.
Pekerja memerah susu sapi di salah satu peternakan sapi perah di kawasan Tegal Parang, Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja memerah susu sapi di salah satu peternakan sapi perah di kawasan Tegal Parang, Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diperkirakan merogoh kantong cukup dalam untuk merealisasikan wacana impor sapi yang digadang-gadang untuk program makan bergizi gratis pada kabinet Prabowo SubiantoGibran Rakabuming Raka. 

Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Eliza Mardian meminta agar pemerintah perlu menghitung ulang melalui pengkajian mendalam serta mengikuti kaidah ilmiah untuk menjadi negara swasembada. Pemerintah juga diharapkan tidak tergesa-gesa untuk menjadi swasembada.

“Meski ada yang bilang program ini harus trial and error, tetapi trial and error-nya jangan mengorbankan uang rakyat yang banyak,” kata Eliza kepada Bisnis, Kamis (10/10/2024).

Seperti diketahui, pemerintah akan mengimpor 1,5 juta ekor sapi hingga 2029 mendatang. Jika tiap sapi seharga Rp 50 juta, Eliza memperkirakan maka setidaknya anggaran yang dibutuhkan untuk impor mencapai Rp75 triliun.

Kendati demikian, Eliza menilai tidak ada yang salah dengan niat mulia swasembada dari Presiden Terpilih. “Jika dikebut hanya untuk memenuhi makan bergizi gratis, ini perlu dikawal dan dikritisi,” ujarnya.

Menurutnya, dengan batasan anggaran per porsi Rp15.000 per hari per anak, maka dalam menu program makan bergizi gratis tidak bisa daging sapi lantaran harganya yang mahal.

Di sinilah, kata dia, pentingnya perencanaan menu yang dapat memenuhi gizi dengan mengenalkan diversifikasi pangan dan disesuaikan dengan konteks lokal sesuai potensi lokal.

“Jangan sampai anak-anak di kawasan pesisir malah terus dikasih daging sapi atau ayam, semestinya mereka didorong mengkonsumsi ikan agar hasil tangkap nelayan sekitar itu terserap dan nelayan mendapatkan harga yang berkeadilan karena ada kepastian pasar,” tuturnya.

Lebih lanjut, Eliza menyebut bahwa Badan Gizi Nasional juga memainkan peranan krusial dalam memetakan menu yang sesuai dengan konteks lokal sehingga dapat membangun backward linkage yang solid karena membangun local supply chain.

Adapun dalam program makan bergizi gratis, pemerintah juga ingin melengkapi asupan gizi dengan memberikan susu. “Seperti kita ketahui, pemenuhan susu domestik 80% masih dari impor untuk bisa memenuhi kebutuhan itu minimal butuh 2 juta ekor sapi perah,” tuturnya.

Tercatat saat ini, populasi sapi perah pada 2022 masih sekitar 507.000 ekor, yang didominasi usaha kecil peternakan rakyat yang memiliki keterbatasan modal dan implementasi teknologi. “Kita perlu realistis dalam membuat target,” ujarnya.

Eliza juga menyoroti adanya risiko sapi impor yang tidak berkembang dengan baik. Apalagi, perubahan iklim yang dapat mempercepat penyebaran penyakit yang merugikan peternak seperti penyakit mulut dan kuku (PMK).

Menurut dia, turunnya populasi sapi perah akibat PMK semestinya menjadi pembelajaran bagi Indonesia untuk mengelola sapi perah dengan serius. Untuk itu, diperlukan manajemen yang baik dalam mengembangkan peternakan sapi perah, mulai dari desain kandang, pemilihan teknologi pemerahan, dan kondisi lahan untuk peternakan.

Diikuti dengan uji kualitas susu sapi, manajemen kebersihan kandang, manajemen pakan, monitoring penyakit hewan, dan skema mitigasi risiko ketika ada penyakit.

“Apa jadinya jika pemerintah sudah mengimpor begitu besar sapi perah, namun ketika sudah tiba di Indonesia sapi tersebut tidak produktif dan sakit akibat kesalahan manajemen. Ini akan menjadi kerugian besar,” tuturnya.

Menurutnya, jika melibatkan peternak lokal, maka akan menggerakkan perekonomian lokal dan memberikan kepastian pasar terhadap peternak.

Adapun, jika perusahaan besar menjalin kemitraan dengan peternak, maka ini akan terjadi transfer knowledge sehingga peternak bisa meningkat. “Ini membutuhkan pendmpingan dan insentif untuk perusahaan yang bermitra dengan peternak lokal,” tandasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper