Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Keuangan baru-baru ini mengumumkan rencana meningkatkan PPN dari 11% menjadi 12% dan memberlakukan kembali pengampunan pajak alias tax amnesty jilid ketiga. Namun, ekonom menilai langkah tersebut tak efektif untuk meningkatkan pemasukan untuk negara.
Ekonom CORE Indonesia Akbar Susamto mengatakan bahwa rencana kebijakan ekonomi untuk 2025 masih banyak yang menekan pertumbuhan kelas menengah, alih-alih mendorong.
"Ada PPN 12%, kenaikan harga BBM, kenaikan premi BPJS Kesehatan, rencana penerapan cukai minuman, rencana wajib asuransi kendaraan bermotor, dan lainnya. Ini yang bakal terkena paling dalam adalah kelas menengah," jelasnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (23/11/2024).
Menurutnya, apabila tidak ada perubahan signifikan dari segi kebijakan, kelas menengah akan sulit pulih, dan akan berimbas pada lambatnya pertumbuhan ekonomi.
"Dengan rencana kebijakan seperti ini, 2025 inflasi mungkin masih rendah, tapi bukan karena tingginya permintaan, melainkan karena daya beli masyarakat yang masih rendah," ujarnya.
Akbar menilai apabila PPN ditingkatkan menjadi 12%, tidak efektif untuk menambah penerimaan negara, karena akan membuat masyarakat semakin enggan mengeluarkan uang untuk konsumsi rumah tangga.
Baca Juga
"Kenaikan PPN 12% akan berimbas pada berkurangnya volume transaksi barang dan jasa, dan akan menekan konsumsi domestik. Ini dampaknya kurang signifikan untuk menjaring penerimaan negara," katanya.
Belum lagi, PPN di Indonesiia masih mengenakan skema single tarif, yang tidak adik kaerna tidak mepertimbangkan daya beli dan kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda.
Senada, terkait dengan Tax Amnesty, Akbar menilai langkah ini juga kurang efektif untuk menjaring pemasukan untuk negara.
Berdasarkan data yang dihimpun CORE Indonesia pada 2016 Tax Amnesty ditargetkan bisa menghimpun Rp1.106 triliun. Namun kenyataanya hanya berhasil menghimpun Rp134,8 triliun.
Kemudian, pada 2017 dari target pemasukan Rp1.151 triliun, yang berhasil terhimpun hanya Rp25,5 triliun. Kasus yang sama juga terjadi pada 2022 di mana target diturunkan menjadi hanya Rp124 triliun, hanya bisa terjaring Rp61,4 triliun.
"Ini selain menguntungkan orang kaya, juga kalau terlalu sering dapat memunculkan risiko moral hazard. Situasi ini tidak hanya menciptakan nuansa ketidakadilan bagi wajib pajak yang patuh, tetapi juga mengancam kredibilitas pemerintah sebagai otoritas pajak," tegasnya.