Bisnis.com, JAKARTA — OECD menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar penerimaan negara semakin meningkat. Kendati demikian, pakar menilai saran tersebut malah akan berdampak negatif ke semua kelompok masyarakat.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar meyakini saran Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut masuk akal namun tidak cocok dengan keadaan sekarang ini.
Fajry mencontohkan belakang terjadi penurunan daya beli dan jumlah kelas menengah. Apalagi, sambungnya, tingkat kepercayaan masyarakat saat ini sedang tidak baik.
"Jika ini dijadikan opsi, saya yakin akan ramai penolakan. Waktunya tidak tepat," jelasnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).
Lebih lanjut, dia menjelaskan secara historis pemerintah sempat menaikkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp36 juta per tahun menjadi Rp54 juta per bulan pada 2016. Fajry mengaku, CITA saat itu sempat menolak kebijakan PTKP tersebut karena akan lebih dinikmati kelompok berpendapat lebih tinggi.
Contoh, jika PTKP naik dari Rp54 juta menjadi Rp60 juta per tahun maka orang berpenghasilan Rp54 juta per tahun tidak membayar pajak penghasilan (PPh 21) lagi sehingga kenaikan ini tidak memberikan manfaat tambahan.
Baca Juga
Di sisi lain, orang yang berpenghasilan Rp80 juta per tahun akan melihat pengurangan pajak atas Rp6 juta pertama yang kini bebas pajak.
Ini karena PPh 21 bersifat progresif. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ada lima lapisan penghasilan kena pajak:
1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta per tahun kena tarif pajak 5%
2. Penghasilan Rp60 juta sampai Rp 250 juta per tahun kena tarif pajak 15%
3. Penghasilan Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun kena tarif pajak 25%
4. Penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 30%
5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 35%
Dengan kenaikan PTKP menjadi Rp60 juta, orang berpenghasilan Rp80 juta mendapatkan pengurangan pajak sebesar Rp6 juta x tarif 5% = Rp300 ribu meski mereka masih membayar pajak besar di lapisan atas.
Sebaliknya, jika ambang PTKP diturunkan maka kelompok masyarakat berpendapatan lebih rendah akan dikenai PPh 21. Begitu juga kelompok masyarakat berpendapatan lebih tinggi akan mendapati penambahan pajak per lapisannya.
"Penurunan ambang batas PTKP, membuat kelompok berpendapatan tinggi paling worse-off, akan tetapi kebijakan ini juga akan berdampak pada kelompok menengah-bawah," jelas Fajry.
Usulan OECD
Dalam laporan terbarunya bertajuk OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menyatakan ambang batas pajak penghasilan (PPh 21) di Indonesia masih terlalu tinggi.
OECD mencontohkan besaran PTKP adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Perhitungan OECD, jumlah tersebut setara dengan 65% produk domestik bruto per kapita Indonesia.
“Akibatnya, kebanyakan kelas menengah yang sedang bertambah jumlahnya tidak kena pajak penghasilan,” jelas OECD dalam laporannya, dikutip Kamis (28/11/2024).
OECD pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara kawasan. Pada 2017, hanya 10% warga yang bayar pajak penghasilan; sedangkan rata-rata warga negara-negara Asean mencapai 15%.
Oleh sebab itu, lembaga ekonomi yang beranggota banyak negara maju tersebut menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas PTKP. Artinya, OECD ingin pekerja dengan gaji di bawah Rp4,5 juta per bulan juga dikenai pajak—namun ambang batasnya terserah pemerintah.
Sejalan dengan itu, masing-masing lapisan penghasilan kena pajak juga diturunkan. Misalnya, OECD menganggap tarif pajak 25% untuk lapisan penghasilan Rp250 juta—500 juta terlalu tinggi.
“Ambang batas pajak penghasilan minimal harus dibekukan sehingga nilainya turun secara riil, sedangkan ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya,” jelas rekomendasi OECD.
OECD meyakini jika rekomendasi reformasi pajak penghasilan tersebut dijalankan pemerintah maka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,7% dalam jangka menengah.